Sumber: suarakomunikasi.com |
Pemilihan
Raya (Pemira) Unsyiah telah usai. Perhelatan tahunan itu memunculkan nama
Hasrizal (nomor urut 5), mahasiswa fakultas Hukum, sebagai pemenang. Industrial
Times menyebut melalui hitung cepat, kandidat ini merebut lebih dari setengah
suara sah. Pesaing terdekatnya, Aditya (2), yang berasal dari fakultas yang
sama hanya mengumpulkan 2.000-an suara. Jumlah ini juga menjadi selisih suara
antara keduanya.
Sudah
lumrah jika ada anggapan Hasrizal diusung oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
meski UKM yang satu ini tidak pernah menyatakan secara terang-terangan. Dan
memang politik kampus demikian adanya. Asumsi dijadikan konklusi setelah
melihat latar belakang organisasi dan/atau tim kampanyenya. Jika sang calon
aktif di HMI, maka bisa disimpulkan ia adalah calon yang diusung oleh lembaga
hijau-hitam itu. Hasrizal sendiri, meski tidak memiliki catatan riwayat
organisasi di LDK (ini merujuk pada biodata yang tersebar di berbagai media
kampanye), diroketkan elektabilitas dan popularitasnya oleh mereka yang aktif
di LDK.
Bicara
suara, sungguh suatu hal yang menggembirakan jika kita melihat trend beberapa
tahun belakangan ini. Meski pasangan yang diusung LDK (saya minta maaf kepada
LDK jika ternyata anggapan ini salah) selalu menang, selisih suara ketua BEM
terpilih dengan rival terdekatnya menipis dari tahun ke tahun. Dari ribuan
menjadi ratusan (data konkritnya googling aje, ye). Ini adalah indikasi
bahwa percaturan politik mahasiswa Unsyiah semakin kompetitif.
Namun
Pemira kemarin terkesan ‘mengecewakan’. Merujuk pada hitung cepat Industrial
Times di atas, calon LDK terkesan tidak memiliki rival yang sepadan. Mereka
(rival LDK) gagal mempertahankan kecenderungan yang sudah terbentuk. Hasrizal menjadi
begitu digdaya merusaknya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Jika ada
yang mengajukan jawaban “masifnya kampanye” Hasrizal berhasil menenggelamkan
popularitas kandidat lain, saya rasa itu bukan jawaban yang tepat. Kampanye
Hamzah, ketua BEM incumbent, tahun lalu juga tak kalah massif. Tapi
Iyen, pesaing terkuat, berhasil menjaga trend minimalisasi diferensi
suara.
Jawaban
lain yang muncul adalah “kekurangsigapan” menyambut Pemira. Jika ini benar,
maka sebenarnya pesaing LDK tidak belajar dari tahun ke tahun. Mereka selalu
terperosok ke dalam lubang yang sama untuk berkali-kali (ada peribahasanya tuh).
Tapi hemat saya, ini tidak sepenuhnya benar. Saya rasa rival LDK juga
organisatoris handal yang progresif.
Ada lagi yang
menyimpulkan “kekalahan popularitas”. Ini juga, menurut saya, tidak tepat.
Calon-calon LDK juga tidak begitu dikenal khalayak sebelum masa kampanye. Tim
kampanye-lah yang mendongkraknya selama beberapa hari yang disediakan Komisi
Pemilihan Raya (KPR) itu. kalaupun popularitas dijadikan kambing hitam, mungkin
peserta Pemira tahun depan harus studi banding ke LDK seputar kampanye.
Yang
agaknya sedikit memuaskan rasa penasaran saya adalah pendapat yang menyatakan
bahwa ada “kisruh internal” yang terjadi di dalam barisan non-LDK (no
offense! Saya tidak menyebutkan pasangan tertentu). Saya mendengar kabar
yang berseliweran tentang hal ini. Tidak begitu jelas apa yang sebenarnya
dipeributkan, tapi beberapa sumber menyebutkan bahwa ada ketidakpuasan beberapa
pihak terhadap keputusan figur yang dicalonkan. Meski tidak bisa dibuktikan
kevalidannya, kekisruhan internal memang menjadi alasan paling logis. Barisan
yang kacau berkali-kali disebut sejarah sebagai sebab kekalahan bahkan sebelum
kompetisi dimulai! (ada peribahasanya: kalah sebelum perang)
Tapi jangan
marah-marah. Ini hanya pendapat saya yang hanya ingin memuaskan dahaga
keingintahuan terhadap kekalahan telak kubu non-LDK baru-baru ini. Meski tidak
terlibat dalam Pemira, saya akhir-akhir ini menyempatkan diri untuk mengamati
perpolitikan kampus nomor satu di Aceh itu. Bagi yang ingin berpendapat lain,
silahkan utarakan. Selama berasaskan logika yang masuk akal dan tidak diseduh
dengan lima sendok emosi penuh benci, maka mari kita minum kopi!
Akhirnya,
selamat kepada Hasrizal dan LDK (nanti saya klarifikasi kalau LDK tidak
terlibat) yang menjadi pemenang Pemira. Harapan saya, ajak semua pihak untuk
menggemilangkan Unsyiah (jargon kalian itu, kan?). Kepada KPR tahun ini, saya haturkan
ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya. Kerja kalian hebat! Kepada sejumlah
media kampus, saya apresiasi kepada kalian yang bekerja tanpa gaji demi
menyemarakkan pesta demokrasi. Kepada mahasiswa yang menyempatkan diri
mendatangi TPS dan menentukan pilihan, selamat atas ketidak-apatisan kalian.
Jika ada teman-temanmu yang membenci politik dan mengajak golput, suruh dia
kembali ke zaman batu ya dek. Di zaman itu, nenek-nenek moyang kita tidak butuh
politik.
Kepada yang
kalah, tetap sportif dan selamat belajar!
0 komentar:
Post a Comment