Thursday 31 December 2015

Maaf, Kawan, Toleransi Bukan Barang Baru Bagi Kami


Banda Aceh akhir tahun ini lumayan sibuk. Ada tiga event besar yang tanggalnya berurutan. Mulai dari Maulid Nabi, Natalan, hingga peringatan 11 tahun tsunami.  Selaras dengan judul, saya tak membahas bid’ah atau tidaknya memperingati hari kelahiran sang Nabi, tidak pula hendak menampilkan foto-foto before dan after tsunami. Fokus kali ini adalah Natal, yang kaitannya paling erat dengan toleransi.

Natal di Banda Aceh tentu tak semegah peringatannya di katedral ibukota. Mungkin karena jumlah penganut yang minoritas. Isu minoritas ini pula yang kemudian dihembuskan dengan sejumlah isu lain (seperti haram memberi ucapan selamat Natal, haram merayakan tahun baru, dsb) sehingga membara menjadi api yang menyulut kebencian. Ada yang bilang, Aceh yang mayoritas Islam intoleran dengan penganut agama lain.

Ah, Kawan. Bukan bermaksud menyinggung. Maaf, sungguh tidak tepat rasanya mengajari kami tentang kosakata toleransi. Kalau kita mengulur sejarah, kalian saudara-saudaraku akan terkesima ketika melihat definisi toleransi menurut ajaran agama kami.

Belilah buku, atau carilah di Google, tentang sejarah perang Badar. Bagaimana Nabi kami yang mulia membebaskan umat Kristiani yang menjadi tawanan perang, padahal beliau bisa saja menuruti pendapat sahabatnya, Umar, agar semua tawanan dihukum mati. Tapi Islam itu toleransi. Tak ada pemaksaan untuk masuk Islam kepada para tawanan, apalagi hukuman mati. Mereka malah dibebaskan setelah ‘dihukum’ mengajari baca tulis kepada penduduk Madinah. Ah, hukuman macam apa itu?

Atau carilah buku Karen Armstrong, Perang Suci. Di situ dijelaskan bagaimana Salahudin Al Ayyubi yang menaklukkan kota Yerusalem dan tak membunuh seorang Kristianipun. Padahal ketika merebut Yerusalem sebelumnya, pasukan Salib membantai puluh ribuan Muslim tak berdosa. Ah,toleransi dalam Islam aneh sekali!

Kini, setelah berbagai peristiwa mencengangkan itu, ada yang menuduh kami intoleran karena tak mengucapkan selamat Natal. Atau karena mengharamkan perayaan tahun baru. Maaf, Islam adalah agama yang punya prinsip. Toleransi punya batas. Selama 364 hari kalian bebas menjalankan aturan agama lalu ketoleransian kami hilang hanya dalam sehari? Rasanya itu berlebihan, Kawan.


Karena itu, sekali lagi, maaf. Rasanya sungguh tak tepat bila ada yang hendak mengajari kami toleransi. Bagi kami, tenggang rasa adalah darah daging.

Wednesday 23 December 2015

Hasrizal Merusak Trend, Ada Apa dengan Rival LDK?



Sumber: suarakomunikasi.com
Pemilihan Raya (Pemira) Unsyiah telah usai. Perhelatan tahunan itu memunculkan nama Hasrizal (nomor urut 5), mahasiswa fakultas Hukum, sebagai pemenang. Industrial Times menyebut melalui hitung cepat, kandidat ini merebut lebih dari setengah suara sah. Pesaing terdekatnya, Aditya (2), yang berasal dari fakultas yang sama hanya mengumpulkan 2.000-an suara. Jumlah ini juga menjadi selisih suara antara keduanya.

Sudah lumrah jika ada anggapan Hasrizal diusung oleh Lembaga Dakwah Kampus (LDK) meski UKM yang satu ini tidak pernah menyatakan secara terang-terangan. Dan memang politik kampus demikian adanya. Asumsi dijadikan konklusi setelah melihat latar belakang organisasi dan/atau tim kampanyenya. Jika sang calon aktif di HMI, maka bisa disimpulkan ia adalah calon yang diusung oleh lembaga hijau-hitam itu. Hasrizal sendiri, meski tidak memiliki catatan riwayat organisasi di LDK (ini merujuk pada biodata yang tersebar di berbagai media kampanye), diroketkan elektabilitas dan popularitasnya oleh mereka yang aktif di LDK.

Bicara suara, sungguh suatu hal yang menggembirakan jika kita melihat trend beberapa tahun belakangan ini. Meski pasangan yang diusung LDK (saya minta maaf kepada LDK jika ternyata anggapan ini salah) selalu menang, selisih suara ketua BEM terpilih dengan rival terdekatnya menipis dari tahun ke tahun. Dari ribuan menjadi ratusan (data konkritnya googling aje, ye). Ini adalah indikasi bahwa percaturan politik mahasiswa Unsyiah semakin kompetitif.

Namun Pemira kemarin terkesan ‘mengecewakan’. Merujuk pada hitung cepat Industrial Times di atas, calon LDK terkesan tidak memiliki rival yang sepadan. Mereka (rival LDK) gagal mempertahankan kecenderungan yang sudah terbentuk. Hasrizal menjadi begitu digdaya merusaknya. Apa yang sebenarnya terjadi?

Jika ada yang mengajukan jawaban “masifnya kampanye” Hasrizal berhasil menenggelamkan popularitas kandidat lain, saya rasa itu bukan jawaban yang tepat. Kampanye Hamzah, ketua BEM incumbent, tahun lalu juga tak kalah massif. Tapi Iyen, pesaing terkuat, berhasil menjaga trend minimalisasi diferensi suara.

Jawaban lain yang muncul adalah “kekurangsigapan” menyambut Pemira. Jika ini benar, maka sebenarnya pesaing LDK tidak belajar dari tahun ke tahun. Mereka selalu terperosok ke dalam lubang yang sama untuk berkali-kali (ada peribahasanya tuh). Tapi hemat saya, ini tidak sepenuhnya benar. Saya rasa rival LDK juga organisatoris handal yang progresif.

Ada lagi yang menyimpulkan “kekalahan popularitas”. Ini juga, menurut saya, tidak tepat. Calon-calon LDK juga tidak begitu dikenal khalayak sebelum masa kampanye. Tim kampanye-lah yang mendongkraknya selama beberapa hari yang disediakan Komisi Pemilihan Raya (KPR) itu. kalaupun popularitas dijadikan kambing hitam, mungkin peserta Pemira tahun depan harus studi banding ke LDK seputar kampanye.

Yang agaknya sedikit memuaskan rasa penasaran saya adalah pendapat yang menyatakan bahwa ada “kisruh internal” yang terjadi di dalam barisan non-LDK (no offense! Saya tidak menyebutkan pasangan tertentu). Saya mendengar kabar yang berseliweran tentang hal ini. Tidak begitu jelas apa yang sebenarnya dipeributkan, tapi beberapa sumber menyebutkan bahwa ada ketidakpuasan beberapa pihak terhadap keputusan figur yang dicalonkan. Meski tidak bisa dibuktikan kevalidannya, kekisruhan internal memang menjadi alasan paling logis. Barisan yang kacau berkali-kali disebut sejarah sebagai sebab kekalahan bahkan sebelum kompetisi dimulai! (ada peribahasanya: kalah sebelum perang)

Tapi jangan marah-marah. Ini hanya pendapat saya yang hanya ingin memuaskan dahaga keingintahuan terhadap kekalahan telak kubu non-LDK baru-baru ini. Meski tidak terlibat dalam Pemira, saya akhir-akhir ini menyempatkan diri untuk mengamati perpolitikan kampus nomor satu di Aceh itu. Bagi yang ingin berpendapat lain, silahkan utarakan. Selama berasaskan logika yang masuk akal dan tidak diseduh dengan lima sendok emosi penuh benci, maka mari kita minum kopi!

Akhirnya, selamat kepada Hasrizal dan LDK (nanti saya klarifikasi kalau LDK tidak terlibat) yang menjadi pemenang Pemira. Harapan saya, ajak semua pihak untuk menggemilangkan Unsyiah (jargon kalian itu, kan?). Kepada KPR tahun ini, saya haturkan ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya. Kerja kalian hebat! Kepada sejumlah media kampus, saya apresiasi kepada kalian yang bekerja tanpa gaji demi menyemarakkan pesta demokrasi. Kepada mahasiswa yang menyempatkan diri mendatangi TPS dan menentukan pilihan, selamat atas ketidak-apatisan kalian. Jika ada teman-temanmu yang membenci politik dan mengajak golput, suruh dia kembali ke zaman batu ya dek. Di zaman itu, nenek-nenek moyang kita tidak butuh politik.

Kepada yang kalah, tetap sportif dan selamat belajar!

Sunday 1 November 2015

Wa Jani dan Juwaini

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

Jujur, aku tak bisa memahami pikiran orang-orang yang nekat tidak menggunakan helm ketika mengendarai sepeda motor di jalan raya. Yang lebih miris lagi, mereka percaya dengan takdir, bahwa ia adalah rahasia Tuhan. Manusia takkan pernah tahu apa yang akan dialaminya beberapa detik ke depan. Di jalan raya, kecelakaan mengintai siapa saja dan kapan saja. Tapi parahnya, takdir jua yang dijadikan dalih untuk tidak berhelm.
“Kalau sudah takdirnya gegar otak, mau secanggih apapun helm, tetap akan gegar otak!”
Edan!
Ini pemahaman takdir yang setengah-setengah. Mentang-mentang rahasia Tuhan, dikiranya takdir itu tak butuh usaha. Aku bersungut-sungut dalam hati ketika kudengar kalimat itu keluar dari mulut Wa[1] Jani, seorang pegawai negeri sipil, di warung kopi Cek Lem tempo hari.
“Tapi takdir itu butuh usaha, Yahwa!” bantahku kemudian.
Wa Jani menyeruput kopinya yang masih panas. Mulutnya berkecap-kecap.
“Betul yang kau bilang itu. Tapi apalah artinya usaha kita manusia ini dibandingkan Tuhan?” katanya sok bijak seraya menghisap rokok kreteknya. Asap membumbung ke udara.
Salah kaprah! Seorang pegawai negeri sipil lulusan universitas ternama di Pulau Jawa bisa punya pemahaman seperti itu. Kurasa dosen-dosennya silap mata telah meluluskannya.
Ia melanjutkan, “Kau masih ingat si Malem yang kecelakaan empat hari lalu? Kudengar dia pakai helm. Tapi helm tak menyelamatkannya dari takdir, bukan?”
Tentu saja kecelakaan horor itu masih lekat di kepalaku. Malem, pemuda berandal itu, bersama dua temannya seketika dilarikan ke RSUD Yulidin Away di Tapaktuan setelah sepeda motor yang dikendarainya berlaga kambing dengan sebuah truk di seuneuron[2] Rot Teungoh. Satu temannya meregang nyawa di IGD sementara Malem dan temannya yang satu lagi kritis. Tapi kecelakaan itu bukan karena helm. Malem mengebut dan setelah melewati tikungan, ia tak mampu menyeimbangkan motornya yang oleng karena overcapacity. Walhasil, ia keluar trek dan bemper truk menjadi sasaran.
Tapi lihatlah betapa lihainya Wa Jani membungkus fakta demi menegakkan pendapatnya. Kukira diskusi ini akan berujung debat kusir bila tak segera kuakhiri.
“Kalau begitu, Wa tak usah makan saja. Kalau takdirnya Wa tidak lapar, pasti Wa tidak akan kelaparan.”
Skakmat! 1-0.
Wa Jani mati kutu. Cek Lem yang mendengar omonganku terbahak sampai-sampai kopi yang disaringnya tumpah sebagian di atas meja kerjanya. Untung saja, warung kopi tidak sedang ramai. Kalau tidak, bisa-bisa meja di depanku rusak digebrak Wa Jani. Atau setidaknya aku dihardiknya karena telah berani menceramahi orang tua.
***
Aku sebenarnya tak berniat mempermalukan Wa Jani. Tapi status beliau sebagai orang paling terdidik membuat hampir semua tingkah polahnya ditiru oleh warga sekampung. Omongannya didengar, usulannya di setiap rapat kampung selalu diterima, penampilannya yang kekotaan ditiru. Wajar saja, kami yang tinggal di daerah pesisir dan jauh dari ibukota kabupaten menganggap orang-orang yang telah lulus kuliah di Jawa itu sebagai seorang yang terhormat setingkat menteri. Yang kami tahu, orang-orang harus punya riwayat pendidikan di Jawa agar bisa diangkat menjadi menteri-menteri pemerintah. Dan Wa Jani telah memenuhi syarat itu. Tapi aku juga tak paham mengapa presiden tak mengangkatnya menjadi menteri.
Bagiku, biar saja omongan Wa Jani yang penuh dengan istilah-istilah ilmiah dipuja-puji jamaah warung kopi yang bertepuk tangan sambil melongo. Tapi ketika ia berlindung dengan tameng agamanya yang salah kaprah demi menegakkan benang basah, aku tidak setuju. Sekali lagi, aku tidak setuju! Itu penghinaan.
“Aku sepakat denganmu, Je. Yang kaulakukan itu sudah benar” komentar Juwaini ketika kuceritakan kejadian tempo hari itu kepadanya. Aku memilihnya karena menurutku ia adalah remaja yang berwawasan luas. Juwaini adalah siswa sebuah SMA unggul berasrama di kota.
Untuk pertama kalinya, aku mendengar ada manusia di kampung ini yang berseberangan dengan Wa Jani selainku. Kurasa kami berdua adalah makhluk pilihan untuk menegakkan kebenaran.
“Orang-orang di kampung kita harus diberi pengetahuan yang cukup tentang bagaimana seharusnya berkendara di jalan raya. Apalagi sekarang sudah banyak warga yang memiliki sepeda motor. Kukhawatirkan jika kita tak melakukan hal ini, mereka akan semakin mendengarkan ocehan si Jani yang sok pintar itu,” kata Juwaini ketus.
Aku mengangguk-angguk. Rupanya tadi Juwaini memang tak sekedar angguk. Ia geram dengan Wa Jani yang langguk. Geramnya naik ke tengkuk. Kudengar giginya gemeletuk.
“Bagaimana caranya?” tanyaku kemudian.
“Aku punya kenalan di kota yang punya percetakan. Kurasa kita bisa meminta dia mencetak brosur petunjuk berkendara di jalan raya. Lalu kita tempel di tempat-tempat yang strategis agar dilihat warga.”
Aku tak paham apa itu brosur dan strategis. Tapi kurasa kualitas kalimat Juwaini kali ini, kalau tidak lebih tinggi, minimal setingkat dengan kualitas kalimat Wa Jani.
Maka, aku mengangguk sekali lagi.
***
Sebuah ambulans meraung-raung masuk ke sebuah gang sempit di kampung. Desas-desusnya, Malem menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit setelah beberapa hari dirawat. Dan memang benar, mobil bersirine itu menuju ke rumah Malem.
Percakapan di warung kopi kemudian berubah topik. Wa Jani berubah menjadi sosok ustadz yang mengajak jamaahnya untuk meyakini bahwa ajal dan kematian sudah diatur oleh Tuhan. Aku bukannya tak sepakat, tapi mengapa konsep takdir Wa Jani sedemikian dangkal?
Sementara itu, Juwaini bergerak cepat. Sehari kemudian, ia membawa pulang apa yang disebutnya brosur. Aku baru tahu rupanya brosur adalah sehelai kertas yang berisi tulisan dan gambar yang menjelaskan keselamatan bersepeda motor di jalan raya. Sebagai pengangguran tak tamat SMP, ini adalah pengetahuan baru bagiku. Kubaca dengan seksama tulisan-tulisan yang ada di situ.

DEMI KETERTIBAN, KEAMANAN DAN KESELAMATAN BERSEPEDA MOTOR DI JALAN RAYA, PERHATIKAN HAL-HAL BERIKUT.
1.         SELALU MENGGUNAKAN HELM PENGAMAN,
2.         HINDARI BERBONCENGAN LEBIH DARI DUA ORANG,
3.         PERHATIKAN RAMBU-RAMBU LALU LINTAS YANG DIPASANG DI TEPI JALAN,
4.         HINDARI BERKENDARA DENGAN KECEPATAN TINGGI,
5.         JANGAN MENGGUNAKAN HP DAN MENDENGARKAN MUSIK SEWAKTU BERKENDARA,
6.         BAWA SELALU SIM DAN STNK ANDA,
7.         PATUHILAH SELALU PERATURAN LALU LINTAS.
INGAT!!! KESELAMATAN ANDA ADALAH YANG UTAMA.
PESAN INI DISAMPAIKAN OLEH SATLANTAS ACEH SELATAN

Kata Juwaini, dana untuk mencetak brosur berasal dari kas desa. Ia dengan kecanggihan kata-katanya berhasil membuat geuchik[3] menginstruksikan bendahara desa untuk memberikan sejumlah dana pengadaan brosur keselamatan bersepeda motor di jalan raya.
Malam itu juga, kami menempel brosur di tempat-tempat yang strategis sesuai rencana Juwaini. Aku mendapat pengetahuan baru lagi. Ternyata yang namanya strategis itu adalah tiang listrik, papan informasi desa, pintu-pintu rumah warga dan pintu toilet umum. Hebat sekali Juwaini, ia bisa menyingkat nama-nama sejumlah tempat dengan hanya menggunakan sembilan huruf saja. Ini membuatku kian terkagum-kagum padanya.
Keesokan harinya, warga dikejutkan dengan brosur-brosur itu. Tapi harus kuakui, rencana Juwaini sangat ampuh. Terbukti di hari-hari selanjutnya warga mulai mengenakan helm setiap keluar dari rumah. Aku dan Juwaini puas dengan kemajuan ini. Sempat terpikir olehku jika kelak aku ditunjuk sebagai tim sukses calon geuchik oleh siapapun, aku akan mencoba taktik yang kunamakan “Brosur dan Strategis” ini. Aku semakin puas ketika Juwaini berjanji mentraktirku minum kopi di warung Cek Lem.
***
“Alaaaahh… itu kan style lama Satlantas. Memang tugas mereka mendistribusikan brosur-brosur itu.” Wa Jani berlagak seperti seorang guru di depan kelas. Orang-orang di warung kopi melongo mendengar kata-kata style dan distribusi.
Aku dan Juwaini duduk agak jauh dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
“Jadi yang menempel berosur itu orang Polantas, bang?” tanya Muja, pemuda pengangguran yang bekerja serabutan.
“Kalaupun bukan mereka, pasti ada orang lain yang dibayar.”
“Wah, kalau aku tahu ada bayarannya, akan kuambil kerja itu,” komentar Apin yang pengangguran murni.
“Kaukira honornya cukup untuk biaya hidup sebulan?” tanya Wa Jani sembari tergelak.
Apin menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba-tiba, Juwaini mengajakku pulang. Katanya, ia lupa ada tugas yang harus dikerjakan.
***
Masa liburan usai. Juwaini telah kembali ke sekolahnya. Kini, satu hal yang patut kubanggakan adalah timbulnya kesadaran warga memperhatikan keselamatan bersepeda motor. Mereka mulai memakai helm, tidak ngebut di jalan, dan taat aturan. Brosur itu memberikan pengaruh besar.
Tapi ada hal lain yang mengganggu pikiranku. Masih mengenai brosur itu juga.
“Sebenarnya brosur itu punya siapa, Wa?” Aku memutuskan menemui Wa Jani kembali untuk menghilangkan rasa penasaran di benakku.
“Satlantas,” jawabnya singkat. Mungkin ia masih kesal padaku.
“Maksudku, brosur itu memang sudah ada atau bagaimana?”
Ia menarik napas panjang berkali-kali.
“Itulah kalau kamu tinggal di kampung. Wawasanmu tidak terbuka. Coba kaubaca tulisan di brosur itu. PESAN INI DISAMPAIKAN OLEH SATLANTAS ACEH SELATAN. Kan sudah jelas brosur itu dari mereka.” Suaranya meninggi.
“Kalau kau punya waktu, coba kaubaca pasal 59 Peraturan Kapolri No. 23 Tahun 2010, ayat 2. Di situ jelas tertulis salah satu tugas Satlantas sebagai pendidik lalu lintas untuk masyarakat,” sambungnya. Kalau sudah bicara pasal, aku gelap.
“Berarti dana mencetak brosur itu tidak berasal dari kas desa?”
Wa Jani tertawa sekeras-kerasnya. Tawa yang dibuat-buat untuk mempermalukanku. Mungkin ia telah merasa menyeimbangkan skor, 1-1. Atau juga karena ia mendapat titik terang tentang siapa pelaku penempelan brosur itu di rumah-rumah warga.
Tapi aku sedang tidak memperhatikan itu. Pikiranku tertuju pada sesosok manusia: Juwaini.



[1] Singkatan dari Yahwa (Aceh): uak, sebutan untuk orang yang lebih tua dari ibu atau bapak.

[2] Turunan (Aceh).


[3] Kepala desa (Aceh).

Monday 30 March 2015

Pemblokiran Media Islami dan Semangat Anti Demokrasi

Nusantara kembali heboh. Kali ini, berita menggemparkan datang dari jagat maya. Sebuah surat yang diduga ditulis oleh Dirjen Aplikasi Informatika Kemenkominfo meminta Internet Service Provider untuk memfilter beberapa situs Islami. Situs-situs tersebut diduga BNPT sebagai media penggerak paham radikalisme dan/atau simpatisan radikalisme.

Saya awalnya mengira berita ini hanyalah hoax belaka yang disebarkan oleh pihak yang ingin memancing di air keruh. Tujuannya adalah mengadu domba aktivis dakwah dengan pemerintah yang terlihat semakin mengecewakan kinerjanya. Tetapi setelah mendengar klarifikasi dari Kemenkominfo, saya menjadi yakin bahwa berita ini benar adanya. Maka mari turut berduka atas kematian kebebasan pers ini, demikian ajakan Dakwatuna.com, sebuah media yang masuk dalam daftar hitam Kemenkominfo.

(Sumber gambar: Arrahmah.com)

Kenyataan ini mengingatkan saya pada sebuah faham anti demokrasi yang disebarkan oleh sebuah gerakan. Bukan apa-apa, melihat ‘kesemena-menaan’ pengambil keputusan negara yang kian menjadi-jadi, saya membayangkan andai saja semua gerakan Islam berpaham seperti gerakan tersebut, maka tamatlah riwayat perjuangan agama ini.

Dulu, pernah akan ada RUU Ormas yang mengharuskan ideologi setiap ormas sama. Dalam saat-saat terjepit itu, gerakan anti demokrasi terpaksa mendatangi markas-markas aktivis Islam yang berjuang di kancah perpolitikan negara. Tidak ada pilihan lain, atau jika tidak ormas tersebut terpaksa dibubarkan.

Sekarang coba bayangkan, di tengah adanya orang-orang Islam yang berjuang di dalam sistem demokrasi, golongan Islamphobia begitu berani membredeli media-media pro Islam serta menghasilkan kebijakan-kebijakan lain yang sangat tidak berpihak pada Islam. Bagaimana jadinya kalau tidak ada sama sekali pejuang Islam yang memegang tampuk kekuasaan? Bisa bayangkan? Mampukah kata-kata dalam aksi yang kita gelar tiap hari secara damai membatalkan peraturan yang sudah disahkan secara hukum? Saya tidak berani menjamin.

Kami akan terus bergerak untuk menyadarkan ummat ini, tapi ‘afwan akhi, kami takkan memilih jalan demokrasi yang kufur itu.
Tidak cukupkah kejadian demi kejadian di Timur Tengah menjadi pelajaran bagi pejuang-pejuang Islam di tanah air ini? Seberapa efektif gerakan penyadaran yang sudah berpuluh-puluh tahun antum lakukan itu? Jika demokrasi adalah sistem kufur, mengapa antum masih saja menikmatinya?

Kalau sudah begini, kalau gerak kita mulai dibatasi, kita baru tersadar bahwa berjuang melalui demokrasi itu penting. Berkoar-koar saja, tanpa memiliki power di lembaga legislatif dan eksekutif, jelas bukan senjata yang efektif lagi untuk saat ini.


Maka, selagi belum terlambat, mari rapatkan barisan!

Sunday 29 March 2015

Ketika Kita Dilanda Ekolalia

Baru-baru ini, setelah meninggalnya Olga Syahputra, artis nasional, muncul tagar #RIPOlgaSyahputra di jagat twitter. Kemudian muncul artikel di beberapa media Islami yang menjelaskan bahwa penggunaan kata yang salah satu maksudnya adalah Rest in Peace itu berpotensi merusak akidah. Penjelasan mengenai boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan RIP bisa dilihat di sini:

Sekarang kita tinggalkan sejenak pembahasan dari segi agama untuk melihatnya dari aspek penggunaan bahasa. Pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa kita kian latah menggunakan bahasa asing, bahkan untuk sekedar berbelasungkawa? Kebanggaan macam apa ini? Di mana kecintaan terhadap bahasa sendiri?

Bahasa Inggris kan bahasa internasional!
Lantas jika memang demikian, kenapa kita mengejek saudara-saudara kita yang sering menggunakan istilah Arab? Bukankah bahasa Arab juga salah satu bahasa internasional? Kenapa kita begitu mengkhawatirkan indonesianisasi istilah-istilah berbahasa Arab sebagai salah satu upaya arabisasi Indonesia? Kenapa pula wakil presiden kita yang terhormat pernah suatu kali meminta agar istilah-istilah perbankan syariah di negara kita diganti?

(Sumber gambar: flickr.com)

Alah, itu kan cuma ucapan…
Tapi bahasa menunjukkan bangsa, Bung. Masyarakat yang latah membeo mengindikasikan bahwa bangsanya adalah bangsa pembeo. Dan lihatlah, ketika kita semakin latah mengutip istilah-istilah berbahasa Inggris, (para pemimpin) bangsa ini pun kian tak terkendali mengekor (para pemimpin) negara penuturnya.

Ini fakta, bukan?

Sadarlah, kita sedang dilanda ekolalia bahasa (bahkan budaya). Ya, jiwa bahasa kita sedang sakit berat. Kita semakin tak terkendali mengikuti bahasa (dan budaya) luar. Kita belum siap menahan terjangan globalisasi. Di tingkat yang lebih parah, kita malah tak sadar sedang memunahkan budaya sendiri.

Lihatlah, betapa kawula muda kian berkiblat ke Korea. Mulai dari sajian musik ala boyband-girlband, film-film alay ala Korea, gaya berbusana aktor-aktris Korea hingga sesekali menggunakan bahasa Korea dalam percakapan sehari-hari. Lihat pula kejadian belum lama ini di pintu masuk Stadion Gelora Bung Karno, betapa banyak perempuan muda yang jatuh pingsan demi mengantri masuk ke dalam untuk menyaksikan konser grup band asal Inggris, One Direction.

Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh penyakit latah, membeo, membebek, mengekor atau apalah namanya itu. Jika mencita-citakan Indonesia yang mandiri, mungkin langkah pertama yang kita lakukan adalah menggalakkan penuturan bahasa Indonesia (tapi ini juga tidak berarti meninggalkan mempelajari bahasa-bahasa lainnya). Untuk hal ini, mungkin kita bisa meniru China yang tetap konsisten menomorsatukan bahasa Mandarin di negaranya.


Selamat jalan, Yoga Syahputra. Semoga amal-amalmu diterima Allah swt dan dosa-dosamu diampuni oleh-Nya.

Saturday 28 March 2015

Mengajari Anak Berhitung, Dengan Jari Atau Tidak?

Kali ini, mau posting tentang mendidik anak. ;-)

Ada pertanyaan menarik tentang bagaimana seharusnya mengajari anak berhitung? Haruskah mereka diajarkan dengan menggunakan jari (fingers counting) atau tidak? Kita tahu, ada sebuah teknik fingers counting yang cukup popular di negara kita.

(Sumber gambar: http://id.theasianparent.com)

Saya tergelitik untuk mencari informasi ini di internet. Hasilnya, saya temukan dua pendapat berbeda tentang fingers counting. Pertama, mereka yang setuju. Kedua, tentu saja, golongan kontra.

Mereka yang berada dalam kelompok pertama konsisten dengan pernyataan bahwa fingers counting adalah cara termudah dan termurah. ‘Alat bantu hitung’ itu dimiliki oleh setiap anak di setiap waktu. Mereka tidak menghabiskan banyak waktu untuk menemukan alat lainnya. Selain itu, jari-jari tangan mudah untuk ‘dioperasikan’ bahkan untuk operasi yang komplit dan menggunakan angka-angka besar (tentu saja hal ini hanya bisa dilakukan dengan teknik tertentu). Juga, alat ini tidak memerlukan biaya.

Kelompok lain yang bersikeras, bahkan melarang, orangtua untuk tidak membiarkan anak-anaknya berhitung menggunakan jari berdalih dengan beberapa alasan.

Pertama, menggunakan fingers counting secara terus-menerus akan menghambat daya kembang anak dalam mempelajari teknik lainnya, termasuk mematikan teknik mengingat.

Kedua, fingers counting hanyalah alat hitung visual untuk pemula—mereka yang baru belajar matematika. Jadi, seharusnya jari-jari tangan tidak digunakan sebagai alat hitung permanen. Sebab menurut Geary dkk (2007), anak-anak memulai belajar menghitung menggunakan strategi yang kurang efisien seperti jari tangan, namun lambat laun beralih ke strategi yang lebih efisien tanpa menggunakan tangan.

Ketiga, fingers counting melemahkan proses mengingat fakta-fakta matematika. Dicontohkan bahwa ketika anak-anak China tidak dapat menghitung penjumlahan dalam memori, mereka cenderung menghitung secara verbal. Sedangkan anak-anak Amerika menghitung dengan jari tangan atau jika tidak akan menebak. Hasilnya, anak-anak China memiliki skor yang lebih baik.

Keempat, fingers counting memperlambat proses penghitungan secara keseluruhan sebab membutuhkan waktu yang lebih lama. Ini, dalam tahap lebih lanjut, mempengaruhi mental matematika anak. (Mental matematika adalah kemampuan memvisualisasikan masalah matematika dalam pikiran). Misalkan saja, ketika seorang guru menyuruh siswanya untuk mencari hasil dari 20-9. Anak-anak yang memiliki mental matematika yang baik tinggal membayangkan soal tersebut sebagai (20-10)+1, sedangkan anak yang terbiasa ber-fingers counting terjebak dengan jari tangannya.

Kelima, tak jarang fingers counting menghilangkan konsep matematika yang sebenarnya. (Untuk yang ini, saya merasa bantahannya adalah: teknik fingers counting diajarkan setelah anak mendapatkan konsep yang sebenarnya.)

Orang yang menghitung tanpa menggunakan jari tangan sewaktu kecil akan memiliki kemampuan matematika yang baik di kemudian hari.

Begitulah, selaku calon guru, guru, calon orang tua atau orang tua, Anda punya kebebasan untuk memilih metode mana yang akan Anda gunakan. Tapi yang jelas, lakukan pilihan terbaik.

Sebagai catatan akhir, saya menemukan sebuah fakta menarik terkait hal ini pada postingan sebuah channel di Blackberry Messenger (BBM), Today in History. Katanya, orang yang menghitung tanpa menggunakan jari tangan sewaktu kecil akan memiliki kemampuan matematika yang baik di kemudian hari.


So, pilihan Anda, Kawan?