Sunday 1 November 2015

Wa Jani dan Juwaini

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

Jujur, aku tak bisa memahami pikiran orang-orang yang nekat tidak menggunakan helm ketika mengendarai sepeda motor di jalan raya. Yang lebih miris lagi, mereka percaya dengan takdir, bahwa ia adalah rahasia Tuhan. Manusia takkan pernah tahu apa yang akan dialaminya beberapa detik ke depan. Di jalan raya, kecelakaan mengintai siapa saja dan kapan saja. Tapi parahnya, takdir jua yang dijadikan dalih untuk tidak berhelm.
“Kalau sudah takdirnya gegar otak, mau secanggih apapun helm, tetap akan gegar otak!”
Edan!
Ini pemahaman takdir yang setengah-setengah. Mentang-mentang rahasia Tuhan, dikiranya takdir itu tak butuh usaha. Aku bersungut-sungut dalam hati ketika kudengar kalimat itu keluar dari mulut Wa[1] Jani, seorang pegawai negeri sipil, di warung kopi Cek Lem tempo hari.
“Tapi takdir itu butuh usaha, Yahwa!” bantahku kemudian.
Wa Jani menyeruput kopinya yang masih panas. Mulutnya berkecap-kecap.
“Betul yang kau bilang itu. Tapi apalah artinya usaha kita manusia ini dibandingkan Tuhan?” katanya sok bijak seraya menghisap rokok kreteknya. Asap membumbung ke udara.
Salah kaprah! Seorang pegawai negeri sipil lulusan universitas ternama di Pulau Jawa bisa punya pemahaman seperti itu. Kurasa dosen-dosennya silap mata telah meluluskannya.
Ia melanjutkan, “Kau masih ingat si Malem yang kecelakaan empat hari lalu? Kudengar dia pakai helm. Tapi helm tak menyelamatkannya dari takdir, bukan?”
Tentu saja kecelakaan horor itu masih lekat di kepalaku. Malem, pemuda berandal itu, bersama dua temannya seketika dilarikan ke RSUD Yulidin Away di Tapaktuan setelah sepeda motor yang dikendarainya berlaga kambing dengan sebuah truk di seuneuron[2] Rot Teungoh. Satu temannya meregang nyawa di IGD sementara Malem dan temannya yang satu lagi kritis. Tapi kecelakaan itu bukan karena helm. Malem mengebut dan setelah melewati tikungan, ia tak mampu menyeimbangkan motornya yang oleng karena overcapacity. Walhasil, ia keluar trek dan bemper truk menjadi sasaran.
Tapi lihatlah betapa lihainya Wa Jani membungkus fakta demi menegakkan pendapatnya. Kukira diskusi ini akan berujung debat kusir bila tak segera kuakhiri.
“Kalau begitu, Wa tak usah makan saja. Kalau takdirnya Wa tidak lapar, pasti Wa tidak akan kelaparan.”
Skakmat! 1-0.
Wa Jani mati kutu. Cek Lem yang mendengar omonganku terbahak sampai-sampai kopi yang disaringnya tumpah sebagian di atas meja kerjanya. Untung saja, warung kopi tidak sedang ramai. Kalau tidak, bisa-bisa meja di depanku rusak digebrak Wa Jani. Atau setidaknya aku dihardiknya karena telah berani menceramahi orang tua.
***
Aku sebenarnya tak berniat mempermalukan Wa Jani. Tapi status beliau sebagai orang paling terdidik membuat hampir semua tingkah polahnya ditiru oleh warga sekampung. Omongannya didengar, usulannya di setiap rapat kampung selalu diterima, penampilannya yang kekotaan ditiru. Wajar saja, kami yang tinggal di daerah pesisir dan jauh dari ibukota kabupaten menganggap orang-orang yang telah lulus kuliah di Jawa itu sebagai seorang yang terhormat setingkat menteri. Yang kami tahu, orang-orang harus punya riwayat pendidikan di Jawa agar bisa diangkat menjadi menteri-menteri pemerintah. Dan Wa Jani telah memenuhi syarat itu. Tapi aku juga tak paham mengapa presiden tak mengangkatnya menjadi menteri.
Bagiku, biar saja omongan Wa Jani yang penuh dengan istilah-istilah ilmiah dipuja-puji jamaah warung kopi yang bertepuk tangan sambil melongo. Tapi ketika ia berlindung dengan tameng agamanya yang salah kaprah demi menegakkan benang basah, aku tidak setuju. Sekali lagi, aku tidak setuju! Itu penghinaan.
“Aku sepakat denganmu, Je. Yang kaulakukan itu sudah benar” komentar Juwaini ketika kuceritakan kejadian tempo hari itu kepadanya. Aku memilihnya karena menurutku ia adalah remaja yang berwawasan luas. Juwaini adalah siswa sebuah SMA unggul berasrama di kota.
Untuk pertama kalinya, aku mendengar ada manusia di kampung ini yang berseberangan dengan Wa Jani selainku. Kurasa kami berdua adalah makhluk pilihan untuk menegakkan kebenaran.
“Orang-orang di kampung kita harus diberi pengetahuan yang cukup tentang bagaimana seharusnya berkendara di jalan raya. Apalagi sekarang sudah banyak warga yang memiliki sepeda motor. Kukhawatirkan jika kita tak melakukan hal ini, mereka akan semakin mendengarkan ocehan si Jani yang sok pintar itu,” kata Juwaini ketus.
Aku mengangguk-angguk. Rupanya tadi Juwaini memang tak sekedar angguk. Ia geram dengan Wa Jani yang langguk. Geramnya naik ke tengkuk. Kudengar giginya gemeletuk.
“Bagaimana caranya?” tanyaku kemudian.
“Aku punya kenalan di kota yang punya percetakan. Kurasa kita bisa meminta dia mencetak brosur petunjuk berkendara di jalan raya. Lalu kita tempel di tempat-tempat yang strategis agar dilihat warga.”
Aku tak paham apa itu brosur dan strategis. Tapi kurasa kualitas kalimat Juwaini kali ini, kalau tidak lebih tinggi, minimal setingkat dengan kualitas kalimat Wa Jani.
Maka, aku mengangguk sekali lagi.
***
Sebuah ambulans meraung-raung masuk ke sebuah gang sempit di kampung. Desas-desusnya, Malem menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit setelah beberapa hari dirawat. Dan memang benar, mobil bersirine itu menuju ke rumah Malem.
Percakapan di warung kopi kemudian berubah topik. Wa Jani berubah menjadi sosok ustadz yang mengajak jamaahnya untuk meyakini bahwa ajal dan kematian sudah diatur oleh Tuhan. Aku bukannya tak sepakat, tapi mengapa konsep takdir Wa Jani sedemikian dangkal?
Sementara itu, Juwaini bergerak cepat. Sehari kemudian, ia membawa pulang apa yang disebutnya brosur. Aku baru tahu rupanya brosur adalah sehelai kertas yang berisi tulisan dan gambar yang menjelaskan keselamatan bersepeda motor di jalan raya. Sebagai pengangguran tak tamat SMP, ini adalah pengetahuan baru bagiku. Kubaca dengan seksama tulisan-tulisan yang ada di situ.

DEMI KETERTIBAN, KEAMANAN DAN KESELAMATAN BERSEPEDA MOTOR DI JALAN RAYA, PERHATIKAN HAL-HAL BERIKUT.
1.         SELALU MENGGUNAKAN HELM PENGAMAN,
2.         HINDARI BERBONCENGAN LEBIH DARI DUA ORANG,
3.         PERHATIKAN RAMBU-RAMBU LALU LINTAS YANG DIPASANG DI TEPI JALAN,
4.         HINDARI BERKENDARA DENGAN KECEPATAN TINGGI,
5.         JANGAN MENGGUNAKAN HP DAN MENDENGARKAN MUSIK SEWAKTU BERKENDARA,
6.         BAWA SELALU SIM DAN STNK ANDA,
7.         PATUHILAH SELALU PERATURAN LALU LINTAS.
INGAT!!! KESELAMATAN ANDA ADALAH YANG UTAMA.
PESAN INI DISAMPAIKAN OLEH SATLANTAS ACEH SELATAN

Kata Juwaini, dana untuk mencetak brosur berasal dari kas desa. Ia dengan kecanggihan kata-katanya berhasil membuat geuchik[3] menginstruksikan bendahara desa untuk memberikan sejumlah dana pengadaan brosur keselamatan bersepeda motor di jalan raya.
Malam itu juga, kami menempel brosur di tempat-tempat yang strategis sesuai rencana Juwaini. Aku mendapat pengetahuan baru lagi. Ternyata yang namanya strategis itu adalah tiang listrik, papan informasi desa, pintu-pintu rumah warga dan pintu toilet umum. Hebat sekali Juwaini, ia bisa menyingkat nama-nama sejumlah tempat dengan hanya menggunakan sembilan huruf saja. Ini membuatku kian terkagum-kagum padanya.
Keesokan harinya, warga dikejutkan dengan brosur-brosur itu. Tapi harus kuakui, rencana Juwaini sangat ampuh. Terbukti di hari-hari selanjutnya warga mulai mengenakan helm setiap keluar dari rumah. Aku dan Juwaini puas dengan kemajuan ini. Sempat terpikir olehku jika kelak aku ditunjuk sebagai tim sukses calon geuchik oleh siapapun, aku akan mencoba taktik yang kunamakan “Brosur dan Strategis” ini. Aku semakin puas ketika Juwaini berjanji mentraktirku minum kopi di warung Cek Lem.
***
“Alaaaahh… itu kan style lama Satlantas. Memang tugas mereka mendistribusikan brosur-brosur itu.” Wa Jani berlagak seperti seorang guru di depan kelas. Orang-orang di warung kopi melongo mendengar kata-kata style dan distribusi.
Aku dan Juwaini duduk agak jauh dan mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
“Jadi yang menempel berosur itu orang Polantas, bang?” tanya Muja, pemuda pengangguran yang bekerja serabutan.
“Kalaupun bukan mereka, pasti ada orang lain yang dibayar.”
“Wah, kalau aku tahu ada bayarannya, akan kuambil kerja itu,” komentar Apin yang pengangguran murni.
“Kaukira honornya cukup untuk biaya hidup sebulan?” tanya Wa Jani sembari tergelak.
Apin menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba-tiba, Juwaini mengajakku pulang. Katanya, ia lupa ada tugas yang harus dikerjakan.
***
Masa liburan usai. Juwaini telah kembali ke sekolahnya. Kini, satu hal yang patut kubanggakan adalah timbulnya kesadaran warga memperhatikan keselamatan bersepeda motor. Mereka mulai memakai helm, tidak ngebut di jalan, dan taat aturan. Brosur itu memberikan pengaruh besar.
Tapi ada hal lain yang mengganggu pikiranku. Masih mengenai brosur itu juga.
“Sebenarnya brosur itu punya siapa, Wa?” Aku memutuskan menemui Wa Jani kembali untuk menghilangkan rasa penasaran di benakku.
“Satlantas,” jawabnya singkat. Mungkin ia masih kesal padaku.
“Maksudku, brosur itu memang sudah ada atau bagaimana?”
Ia menarik napas panjang berkali-kali.
“Itulah kalau kamu tinggal di kampung. Wawasanmu tidak terbuka. Coba kaubaca tulisan di brosur itu. PESAN INI DISAMPAIKAN OLEH SATLANTAS ACEH SELATAN. Kan sudah jelas brosur itu dari mereka.” Suaranya meninggi.
“Kalau kau punya waktu, coba kaubaca pasal 59 Peraturan Kapolri No. 23 Tahun 2010, ayat 2. Di situ jelas tertulis salah satu tugas Satlantas sebagai pendidik lalu lintas untuk masyarakat,” sambungnya. Kalau sudah bicara pasal, aku gelap.
“Berarti dana mencetak brosur itu tidak berasal dari kas desa?”
Wa Jani tertawa sekeras-kerasnya. Tawa yang dibuat-buat untuk mempermalukanku. Mungkin ia telah merasa menyeimbangkan skor, 1-1. Atau juga karena ia mendapat titik terang tentang siapa pelaku penempelan brosur itu di rumah-rumah warga.
Tapi aku sedang tidak memperhatikan itu. Pikiranku tertuju pada sesosok manusia: Juwaini.



[1] Singkatan dari Yahwa (Aceh): uak, sebutan untuk orang yang lebih tua dari ibu atau bapak.

[2] Turunan (Aceh).


[3] Kepala desa (Aceh).

0 komentar:

Post a Comment