Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com
Jujur, aku tak bisa memahami pikiran orang-orang yang nekat tidak menggunakan helm ketika mengendarai sepeda motor di jalan raya. Yang lebih miris lagi, mereka percaya dengan takdir, bahwa ia adalah rahasia Tuhan. Manusia takkan pernah tahu apa yang akan dialaminya beberapa detik ke depan. Di jalan raya, kecelakaan mengintai siapa saja dan kapan saja. Tapi parahnya, takdir jua yang dijadikan dalih untuk tidak berhelm.
“Kalau sudah takdirnya gegar otak, mau secanggih
apapun helm, tetap akan gegar otak!”
Edan!
Ini pemahaman takdir yang
setengah-setengah. Mentang-mentang rahasia Tuhan, dikiranya takdir itu tak
butuh usaha. Aku bersungut-sungut dalam hati ketika kudengar kalimat itu keluar
dari mulut Wa[1]
Jani, seorang pegawai negeri sipil, di warung kopi Cek Lem tempo hari.
“Tapi takdir itu butuh usaha, Yahwa!”
bantahku kemudian.
Wa Jani menyeruput kopinya yang masih
panas. Mulutnya berkecap-kecap.
“Betul yang kau bilang itu. Tapi apalah
artinya usaha kita manusia ini dibandingkan Tuhan?” katanya sok bijak seraya
menghisap rokok kreteknya. Asap membumbung ke udara.
Salah kaprah! Seorang pegawai negeri sipil
lulusan universitas ternama di Pulau Jawa bisa punya pemahaman seperti itu.
Kurasa dosen-dosennya silap mata telah meluluskannya.
Ia melanjutkan, “Kau masih ingat si Malem
yang kecelakaan empat hari lalu? Kudengar dia pakai helm. Tapi helm tak
menyelamatkannya dari takdir, bukan?”
Tentu saja kecelakaan horor itu masih lekat
di kepalaku. Malem, pemuda berandal itu, bersama dua temannya seketika
dilarikan ke RSUD Yulidin Away di Tapaktuan setelah sepeda motor yang
dikendarainya berlaga kambing dengan sebuah truk di seuneuron[2]
Rot Teungoh. Satu temannya meregang nyawa di IGD sementara Malem dan
temannya yang satu lagi kritis. Tapi kecelakaan itu bukan karena helm. Malem
mengebut dan setelah melewati tikungan, ia tak mampu menyeimbangkan motornya
yang oleng karena overcapacity. Walhasil, ia keluar trek dan bemper truk
menjadi sasaran.
Tapi lihatlah betapa lihainya Wa Jani
membungkus fakta demi menegakkan pendapatnya. Kukira diskusi ini akan berujung
debat kusir bila tak segera kuakhiri.
“Kalau begitu, Wa tak usah makan saja.
Kalau takdirnya Wa tidak lapar, pasti Wa tidak akan kelaparan.”
Skakmat! 1-0.
Wa Jani mati kutu. Cek Lem yang mendengar
omonganku terbahak sampai-sampai kopi yang disaringnya tumpah sebagian di atas
meja kerjanya. Untung saja, warung kopi tidak sedang ramai. Kalau tidak,
bisa-bisa meja di depanku rusak digebrak Wa Jani. Atau setidaknya aku
dihardiknya karena telah berani menceramahi orang tua.
***
Aku sebenarnya tak berniat mempermalukan Wa
Jani. Tapi status beliau sebagai orang paling terdidik membuat hampir semua
tingkah polahnya ditiru oleh warga sekampung. Omongannya didengar, usulannya di
setiap rapat kampung selalu diterima, penampilannya yang kekotaan ditiru. Wajar
saja, kami yang tinggal di daerah pesisir dan jauh dari ibukota kabupaten
menganggap orang-orang yang telah lulus kuliah di Jawa itu sebagai seorang yang
terhormat setingkat menteri. Yang kami tahu, orang-orang harus punya riwayat pendidikan
di Jawa agar bisa diangkat menjadi menteri-menteri pemerintah. Dan Wa Jani
telah memenuhi syarat itu. Tapi aku juga tak paham mengapa presiden tak
mengangkatnya menjadi menteri.
Bagiku, biar saja omongan Wa Jani yang
penuh dengan istilah-istilah ilmiah dipuja-puji jamaah warung kopi yang
bertepuk tangan sambil melongo. Tapi ketika ia berlindung dengan tameng
agamanya yang salah kaprah demi menegakkan benang basah, aku tidak setuju.
Sekali lagi, aku tidak setuju! Itu penghinaan.
“Aku sepakat denganmu, Je. Yang kaulakukan
itu sudah benar” komentar Juwaini ketika kuceritakan kejadian tempo hari itu
kepadanya. Aku memilihnya karena menurutku ia adalah remaja yang berwawasan
luas. Juwaini adalah siswa sebuah SMA unggul berasrama di kota.
Untuk pertama kalinya, aku mendengar ada
manusia di kampung ini yang berseberangan dengan Wa Jani selainku. Kurasa kami
berdua adalah makhluk pilihan untuk menegakkan kebenaran.
“Orang-orang di kampung kita harus diberi
pengetahuan yang cukup tentang bagaimana seharusnya berkendara di jalan raya.
Apalagi sekarang sudah banyak warga yang memiliki sepeda motor. Kukhawatirkan
jika kita tak melakukan hal ini, mereka akan semakin mendengarkan ocehan si
Jani yang sok pintar itu,” kata Juwaini ketus.
Aku mengangguk-angguk. Rupanya tadi Juwaini
memang tak sekedar angguk. Ia geram dengan Wa Jani yang langguk. Geramnya naik
ke tengkuk. Kudengar giginya gemeletuk.
“Bagaimana caranya?” tanyaku kemudian.
“Aku punya kenalan di kota yang punya
percetakan. Kurasa kita bisa meminta dia mencetak brosur petunjuk berkendara di
jalan raya. Lalu kita tempel di tempat-tempat yang strategis agar dilihat
warga.”
Aku tak paham apa itu brosur dan strategis.
Tapi kurasa kualitas kalimat Juwaini kali ini, kalau tidak lebih tinggi, minimal
setingkat dengan kualitas kalimat Wa Jani.
Maka, aku mengangguk sekali lagi.
***
Sebuah ambulans meraung-raung masuk ke
sebuah gang sempit di kampung. Desas-desusnya, Malem menghembuskan napas
terakhirnya di rumah sakit setelah beberapa hari dirawat. Dan memang benar, mobil
bersirine itu menuju ke rumah Malem.
Percakapan di warung kopi kemudian berubah
topik. Wa Jani berubah menjadi sosok ustadz yang mengajak jamaahnya untuk
meyakini bahwa ajal dan kematian sudah diatur oleh Tuhan. Aku bukannya tak
sepakat, tapi mengapa konsep takdir Wa Jani sedemikian dangkal?
Sementara itu, Juwaini bergerak cepat. Sehari
kemudian, ia membawa pulang apa yang disebutnya brosur. Aku baru tahu rupanya
brosur adalah sehelai kertas yang berisi tulisan dan gambar yang menjelaskan keselamatan
bersepeda motor di jalan raya. Sebagai pengangguran tak tamat SMP, ini adalah
pengetahuan baru bagiku. Kubaca dengan seksama tulisan-tulisan yang ada di
situ.
DEMI KETERTIBAN, KEAMANAN DAN KESELAMATAN BERSEPEDA MOTOR DI JALAN RAYA,
PERHATIKAN HAL-HAL BERIKUT.
1.
SELALU MENGGUNAKAN HELM PENGAMAN,
2.
HINDARI BERBONCENGAN LEBIH DARI DUA ORANG,
3.
PERHATIKAN RAMBU-RAMBU LALU LINTAS YANG DIPASANG DI TEPI JALAN,
4.
HINDARI BERKENDARA DENGAN KECEPATAN TINGGI,
5.
JANGAN MENGGUNAKAN HP DAN MENDENGARKAN MUSIK SEWAKTU BERKENDARA,
6.
BAWA SELALU SIM DAN STNK ANDA,
7.
PATUHILAH SELALU PERATURAN LALU LINTAS.
INGAT!!! KESELAMATAN ANDA ADALAH YANG UTAMA.
PESAN INI DISAMPAIKAN OLEH SATLANTAS ACEH SELATAN
Kata Juwaini, dana untuk mencetak brosur berasal
dari kas desa. Ia dengan kecanggihan kata-katanya berhasil membuat geuchik[3]
menginstruksikan bendahara desa untuk memberikan sejumlah dana pengadaan
brosur keselamatan bersepeda motor di jalan raya.
Malam itu juga, kami menempel brosur di
tempat-tempat yang strategis sesuai rencana Juwaini. Aku mendapat pengetahuan
baru lagi. Ternyata yang namanya strategis itu adalah tiang listrik, papan
informasi desa, pintu-pintu rumah warga dan pintu toilet umum. Hebat sekali
Juwaini, ia bisa menyingkat nama-nama sejumlah tempat dengan hanya menggunakan
sembilan huruf saja. Ini membuatku kian terkagum-kagum padanya.
Keesokan harinya, warga dikejutkan dengan
brosur-brosur itu. Tapi harus kuakui, rencana Juwaini sangat ampuh. Terbukti di
hari-hari selanjutnya warga mulai mengenakan helm setiap keluar dari rumah. Aku
dan Juwaini puas dengan kemajuan ini. Sempat terpikir olehku jika kelak aku
ditunjuk sebagai tim sukses calon geuchik oleh siapapun, aku akan
mencoba taktik yang kunamakan “Brosur dan Strategis” ini. Aku semakin puas
ketika Juwaini berjanji mentraktirku minum kopi di warung Cek Lem.
***
“Alaaaahh… itu kan style lama
Satlantas. Memang tugas mereka mendistribusikan brosur-brosur itu.” Wa Jani
berlagak seperti seorang guru di depan kelas. Orang-orang di warung kopi
melongo mendengar kata-kata style dan distribusi.
Aku dan Juwaini duduk agak jauh dan mencuri
dengar apa yang mereka bicarakan.
“Jadi yang menempel berosur itu
orang Polantas, bang?” tanya Muja, pemuda pengangguran yang bekerja serabutan.
“Kalaupun bukan mereka, pasti ada orang
lain yang dibayar.”
“Wah, kalau aku tahu ada bayarannya, akan
kuambil kerja itu,” komentar Apin yang pengangguran murni.
“Kaukira honornya cukup untuk biaya hidup
sebulan?” tanya Wa Jani sembari tergelak.
Apin menggaruk-garuk kepalanya.
Tiba-tiba, Juwaini mengajakku pulang.
Katanya, ia lupa ada tugas yang harus dikerjakan.
***
Masa liburan usai. Juwaini telah kembali ke
sekolahnya. Kini, satu hal yang patut kubanggakan adalah timbulnya kesadaran
warga memperhatikan keselamatan bersepeda motor. Mereka mulai memakai helm,
tidak ngebut di jalan, dan taat aturan. Brosur itu memberikan pengaruh
besar.
Tapi ada hal lain yang mengganggu
pikiranku. Masih mengenai brosur itu juga.
“Sebenarnya brosur itu punya siapa, Wa?”
Aku memutuskan menemui Wa Jani kembali untuk menghilangkan rasa penasaran di
benakku.
“Satlantas,” jawabnya singkat. Mungkin ia
masih kesal padaku.
“Maksudku, brosur itu memang sudah ada atau
bagaimana?”
Ia menarik napas panjang berkali-kali.
“Itulah kalau kamu tinggal di kampung.
Wawasanmu tidak terbuka. Coba kaubaca tulisan di brosur itu. PESAN INI
DISAMPAIKAN OLEH SATLANTAS ACEH SELATAN. Kan sudah jelas brosur itu dari mereka.”
Suaranya meninggi.
“Kalau kau punya waktu, coba kaubaca pasal 59
Peraturan Kapolri No. 23 Tahun 2010, ayat 2. Di situ jelas tertulis salah satu tugas
Satlantas sebagai pendidik lalu lintas untuk masyarakat,” sambungnya. Kalau sudah
bicara pasal, aku gelap.
“Berarti dana mencetak brosur itu tidak
berasal dari kas desa?”
Wa Jani tertawa sekeras-kerasnya. Tawa yang
dibuat-buat untuk mempermalukanku. Mungkin ia telah merasa menyeimbangkan skor,
1-1. Atau juga karena ia mendapat titik terang tentang siapa pelaku penempelan
brosur itu di rumah-rumah warga.
Tapi aku sedang tidak memperhatikan itu. Pikiranku
tertuju pada sesosok manusia: Juwaini.
0 komentar:
Post a Comment