Wednesday 5 February 2014

Menilik Doa Para Nabi (Agar Doa Diijabah Allah)


 

Surah Al-Anbiya’ berada pada urutan ke-21 dalam Alquran. Dinamakan demikian karena sebagian ayatnya menceritakan tentang sepenggal episode perjuangan para nabi yang menyejarah. Jika kita telusur, kisah-kisah hebat itu dimulai dari da’wah Nabiyullah Musa dan Harun as. di ayat 48 dan ayat setelahnya. Lalu, ayat selanjutnya mengajak kita mengingat Bapaknya Para Nabi nan lembut, Ibrahim as. Perjuangannya yang gagah berani mendobrak kepercayaan tradisi menyebabkan ia dibakar hidup-hidup, tetapi sejarah menunjukkan pembela kebenaran akan senantiasa dilindungi oleh Yang Maha Benar. Kemudian, Luth as. yang semasa dengan Ibrahim as. Setelah itu, kita akan menemukan kembali pita sejarah diulang jauh ke masa Nuh as. Seterusnya kisah Dawud dan Sulaiman as., serta Ayyub as. Beberapa nabi disebutkan dalam satu ayat sekaligus, yaitu Ismail as., Idris as., dan Zulkifli as. Cerita heroik Zun Nun, Yunus as. juga disertakan di beberapa ayat di sini. Kisah panjang ini ditutup dengan kisah Zakariya as. yang melahirkan Yahya as. serta menjadi penjaga Maryam yang menjadi ibu dari ‘Isa as.

Lalu apa hubungannya kisah-kisah itu dengan judul tulisan ini? Bila kita tilik beberapa ayat, ada deskripsi tentang penyertaan doa dalam perjuangan da’wah para utusan mulia ini. Kalimat fastajabna lahu (maka kami kabulkan baginya) diulang sebanyak empat kali dalam surah yang memiliki 112 ayat ini. Di ayat 76 digambarkan Nabi Nuh as. memulai pelayaran dengan beberapa pengikutnya dengan doa. Di surah lain, kita tahu kalimat yang diucapkan beliau itu adalah bismillahi majreha wa mursaha, inna Rabbi laGhafurun Rahim. Nabi Ayyub as. memohon kesembuhan dari penyakitnya yang parah diceritakan dalam ayat 83. Selanjutnya, kalimat taubat Nabi Yunus as., la ilaha illa Anta subhanaKa inni kuntu minadhdhalimin, tertera di ayat 87 dan doa Nabi Zakariya as. tercantum di dua ayat sesudahnya.

Hal ini bukan lantas menafikan doa-doa para nabi lain karena hampir semua doa dari tiap-tiap mereka diabadikan dalam Alquran. Nabi Ibrahim as., misalnya. Meskipun istrinya sudah memasuki usia tua, beliau tetap tidak putus asa untuk memohon diberi keturunan yang akan melanjutkan estafet dakwah. Kegigihan seperti ini mudah saja bagi Allah untuk mengabulkannya. Maka lahirlah dua saudara seayah, Ismail as. dan Ishaq as. Yang pertama kelak bertalian garis keturunannya hingga Nabi Muhammad saw. Sementara yang kedua berlanjut ke Ya’qub as. dan Yusuf as. Atau kita ingat pula doa Nabi Ibrahim as. dalam ayat ke-129 surah Al-Baqarah. Mungkin ini menjadi doa yang paling lama dikabulkan oleh Allah karena baru terwujud beratus-ratus abad kemudian. Ini Allah gambarkan dalam surah Al-Jumu’ah ayat 2 dengan redaksi yang sama persis meski susunannya terbalik. Apapun itu, doa-doa para utusan ma’shum ini terkabul.

Lalu apa penyebabnya? Mungkin jawaban yang segera melintas dalam benak kita adalah karena mereka para Nabi, orang-orang yang sangat dekat dengan Allah. Ada benarnya. Tapi mari kita buka lagi  mushaf kita di ayat 90, ayat yang menggambarkan pengabulan Allah atas doa Nabi Zakariya as.

Maka Kami Kabulkan (doa)nya, dan Kami Anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami Jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.
Tiga hal yang menjadi kunci terkabulnya doa di sini selain memang ketekunan dan ketidakhadiran rasa putus asa akan rahmat Allah yang dimiliki Nabiyullah Zakariya adalah: Pertama, selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan. Kita mungkin sering berbuat baik, namun menunda-nunda. Untuk bershadaqah, tunggu hari Jumat. Untuk menghafal Alquran, tunggu bacaan benar-benar bagus, dan sebagainya. Tanpa kita sadari, ini menjadi salah satu penghalang terkabulnya doa kita. Kedua, berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Menghadirkan perasaan ini menandakan keseriusan kita terhadap apa yang kita doakan. Betapa banyak yang berdoa dengan lancar dalam bahasa Arab namun tidak faham apa yang didoakannya. Bagaimana mungkin kita mengabulkan permintaan seseorang kepada kita sementara ia sendiri bingung apa yang sedang dimintanya? Begitupun Allah. Maka hadirkan dua rasa itu sekaligus, rasa harap dikabulkan, jua cemas tidak dipenuhi. Terakhir, khusyuk kepada Kami. Kekhusyukan ini tidak hanya dimunculkan ketika berdoa saja, namun juga dalam ibadah-ibadah lain. Khusyuk berharap pahalanya, takut akan penolakannya.

Semoga Allah mengabulkan segala doa-doa kita.


Rabbana atina fiddun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qina ‘adzabannar. Amin.

0 komentar:

Post a Comment