Surah Al-Anbiya’ berada pada urutan ke-21 dalam Alquran. Dinamakan demikian
karena sebagian ayatnya menceritakan tentang sepenggal episode perjuangan para
nabi yang menyejarah. Jika kita telusur, kisah-kisah hebat itu dimulai dari
da’wah Nabiyullah Musa dan Harun as. di ayat 48 dan ayat setelahnya. Lalu, ayat
selanjutnya mengajak kita mengingat Bapaknya Para Nabi nan lembut, Ibrahim as. Perjuangannya
yang gagah berani mendobrak kepercayaan tradisi menyebabkan ia dibakar
hidup-hidup, tetapi sejarah menunjukkan pembela kebenaran akan senantiasa
dilindungi oleh Yang Maha Benar. Kemudian, Luth as. yang semasa dengan Ibrahim
as. Setelah itu, kita akan menemukan kembali pita sejarah diulang jauh ke masa
Nuh as. Seterusnya kisah Dawud dan Sulaiman as., serta Ayyub as. Beberapa nabi
disebutkan dalam satu ayat sekaligus, yaitu Ismail as., Idris as., dan Zulkifli
as. Cerita heroik Zun Nun, Yunus as. juga disertakan di beberapa ayat di sini.
Kisah panjang ini ditutup dengan kisah Zakariya as. yang melahirkan Yahya as.
serta menjadi penjaga Maryam yang menjadi ibu dari ‘Isa as.
Lalu apa hubungannya kisah-kisah itu dengan judul tulisan ini? Bila kita
tilik beberapa ayat, ada deskripsi tentang penyertaan doa dalam perjuangan
da’wah para utusan mulia ini. Kalimat fastajabna lahu (maka kami
kabulkan baginya) diulang sebanyak empat kali dalam surah yang memiliki 112
ayat ini. Di ayat 76 digambarkan Nabi Nuh as. memulai pelayaran dengan beberapa
pengikutnya dengan doa. Di surah lain, kita tahu kalimat yang diucapkan beliau
itu adalah bismillahi majreha wa mursaha, inna Rabbi laGhafurun Rahim. Nabi Ayyub
as. memohon kesembuhan dari penyakitnya yang parah diceritakan dalam ayat 83. Selanjutnya,
kalimat taubat Nabi Yunus as., la ilaha illa Anta subhanaKa inni kuntu
minadhdhalimin, tertera di ayat 87 dan doa Nabi Zakariya as. tercantum di
dua ayat sesudahnya.
Hal ini
bukan lantas menafikan doa-doa para nabi lain karena hampir semua doa dari
tiap-tiap mereka diabadikan dalam Alquran. Nabi Ibrahim as., misalnya. Meskipun
istrinya sudah memasuki usia tua, beliau tetap tidak putus asa untuk memohon
diberi keturunan yang akan melanjutkan estafet dakwah. Kegigihan seperti ini
mudah saja bagi Allah untuk mengabulkannya. Maka lahirlah dua saudara seayah,
Ismail as. dan Ishaq as. Yang pertama kelak bertalian garis keturunannya hingga
Nabi Muhammad saw. Sementara yang kedua berlanjut ke Ya’qub as. dan Yusuf as.
Atau kita ingat pula doa Nabi Ibrahim as. dalam ayat ke-129 surah Al-Baqarah.
Mungkin ini menjadi doa yang paling lama dikabulkan oleh Allah karena baru
terwujud beratus-ratus abad kemudian. Ini Allah gambarkan dalam surah
Al-Jumu’ah ayat 2 dengan redaksi yang sama persis meski susunannya terbalik. Apapun itu, doa-doa para utusan ma’shum ini terkabul.
Lalu apa penyebabnya? Mungkin jawaban yang segera melintas dalam benak kita
adalah karena mereka para Nabi, orang-orang yang sangat dekat dengan Allah. Ada
benarnya. Tapi mari kita buka lagi
mushaf kita di ayat 90, ayat yang menggambarkan pengabulan Allah atas
doa Nabi Zakariya as.
Maka Kami Kabulkan (doa)nya, dan Kami Anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami
Jadikan istrinya (dapat mengandung). Sungguh, mereka selalu bersegera dalam
(mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan
cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.
Tiga hal yang menjadi kunci terkabulnya doa di sini selain memang ketekunan
dan ketidakhadiran rasa putus asa akan rahmat Allah yang dimiliki Nabiyullah
Zakariya adalah: Pertama, selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan.
Kita mungkin
sering berbuat baik, namun menunda-nunda. Untuk bershadaqah, tunggu hari Jumat.
Untuk menghafal Alquran, tunggu bacaan benar-benar bagus, dan sebagainya.
Tanpa kita sadari, ini menjadi salah satu penghalang terkabulnya doa kita.
Kedua, berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Menghadirkan
perasaan ini menandakan keseriusan kita terhadap apa yang kita doakan. Betapa
banyak yang berdoa dengan lancar dalam bahasa Arab namun tidak faham apa yang
didoakannya. Bagaimana mungkin kita mengabulkan permintaan seseorang kepada
kita sementara ia sendiri bingung apa yang sedang dimintanya? Begitupun Allah.
Maka hadirkan dua rasa itu sekaligus, rasa harap dikabulkan, jua cemas tidak
dipenuhi. Terakhir, khusyuk kepada Kami. Kekhusyukan ini tidak hanya
dimunculkan ketika berdoa saja, namun juga dalam ibadah-ibadah lain. Khusyuk
berharap pahalanya, takut akan penolakannya.
Semoga Allah mengabulkan segala doa-doa kita.
Rabbana atina fiddun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qina
‘adzabannar. Amin.
0 komentar:
Post a Comment