Wednesday 5 February 2014

Manajemen Menunggu



Hampir semua dari kita sepakat bahwa menunggu adalah sesuatu yang membosankan. Tak peduli apa dan siapa yang ditunggu, tapi kegiatan pasif itu memang paling tidak diharapkan akan terjadi.

Sebagian terkadang bersikap reaktif apabila yang ditunggu tidak kunjung datang. Rasa tidak sabaran mulai muncul setelah selain memang merasa “sabar ada batasnya” juga karena setan berhasil mengompori. Lalu, rasa yang mulai membuncah itu ternyatakan dalam raut muka dan tingkah laku. Merengut, lalu mengeluh. Satu tingkat di atasnya, dan ini sebagian besar memang karena sudah mau berkompromi dengan setan, adalah marah. Atau dalam bahasa halusnya, tersinggung karena merasa diperlakukan tidak adil. Tidak aneh memang, karena begitulah fitrah manusia. Dua ayat dalam surat Al-Ma’arij sudah cukup untuk menggambarkan orang-orang yang seperti ini.

“Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan, maka ia berkeluh kesah.” (QS Al-Ma’arij, 19 – 20)

Lalu apa yang harus kita lakukan agar menunggu menjadi suatu kegiatan yang indah dan bermakna?

Pertama, kita harus menyadari bahwa itu adalah bagian dari takdir yang sudah dituliskan jauh sebelum kita pertama kali menghirup udara di planet ini. Sepintar apapun kita berusaha berkelit, tetap tidak bisa. Sang Sutradaralah yang berkuasa, kita hanya pemeran yang hanya bisa tunduk pada skenario, meskipun naskahnya tak pernah diperlihatkan pada kita.

Kedua, ada hikmah yang dipetik dari aktivitas ini. Hikmahnya rupanya tidak tanggung-tanggung, melatih kesabaran. Sabar adalah sesuatu yang semakin ambigu di zaman ini. Betapa tidak, hampir semua orang mengaku sebagai orang sabar. Ketika kita menjumpai mereka dalam keadaan marah, kalimat yang terucap dari mulut mereka adalah “sabar saya ada batasnya”. Padahal kesabaran sejati itu tak hingga, tiada berbatas. Rasulullah saw adalah figur yang sangat tepat untuk menjelaskan bagaimana kiranya seseorang yang memiliki rasa sabar. Dilempari bebatuan hingga terompahnya memerah di Thaif, yang beliau lakukan adalah sabar dan memaafkan. Diserapahi oleh wanita buta-tua Yahudi yang tiap hari beliau suapi makanan, yang beliau lakukan adalah diam dan memaafkan. Pamannya dibunuh dengan keji di lembah Uhud, tapi ketika beliau dengan mudah bisa membalasnya di Fathu Makkah, yang beliau lakukan adalah ikhlas dan memaafkan. Ini sabar yang sebenarnya! Sabar yang seperti ini yang Allah sandingkan dengan shalat dalam beberapa ayat suciNya. Dan “menunggu” melatih kita untuk menumbuhkan karakter ajaib itu.


Ketiga, agar waktu tidak mengalir percuma, manfaatkan dengan melakukan hal-hal yang bermanfaat. Mentilawahi Alquran menjadi satu aktivitas yang sangat cocok untuk mengisi waktu luang ini. Selain meraup pahala yang berlipat-lipat, kita juga merasa nyaman karena setan pasti tidak akan berhasil memanas-manasi kita untuk marah. Tapi tetap saja bukan berarti tidak boleh melakukan pekerjaan lain. Membaca buku untuk memperluas wawasan, menulis ide yang tiba-tiba terlintas di kepala, dan kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya adalah jauh lebih baik untuk dikerjakan daripada sekedar meng-update status facebook bernada kesal dan menyebalkan bagi sesiapa yang membacanya.

0 komentar:

Post a Comment