Hampir semua
dari kita sepakat bahwa menunggu adalah sesuatu yang membosankan. Tak peduli
apa dan siapa yang ditunggu, tapi kegiatan pasif itu memang paling tidak
diharapkan akan terjadi.
Sebagian
terkadang bersikap reaktif apabila yang ditunggu tidak kunjung datang. Rasa tidak sabaran mulai muncul setelah selain memang merasa “sabar ada
batasnya” juga karena setan berhasil mengompori. Lalu, rasa yang mulai
membuncah itu ternyatakan dalam raut muka dan tingkah laku. Merengut, lalu mengeluh.
Satu tingkat di atasnya, dan ini sebagian besar memang karena sudah mau
berkompromi dengan setan, adalah marah. Atau dalam bahasa halusnya, tersinggung
karena merasa diperlakukan tidak adil. Tidak aneh memang, karena begitulah
fitrah manusia. Dua ayat dalam surat Al-Ma’arij sudah cukup untuk menggambarkan
orang-orang yang seperti ini.
“Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan suka mengeluh. Apabila
ditimpa kesusahan, maka ia berkeluh kesah.” (QS Al-Ma’arij, 19 – 20)
Lalu apa yang harus kita lakukan agar menunggu menjadi suatu kegiatan yang
indah dan bermakna?
Pertama, kita harus menyadari bahwa itu adalah bagian dari takdir yang
sudah dituliskan jauh sebelum kita pertama kali menghirup udara di planet ini.
Sepintar apapun kita berusaha berkelit, tetap tidak bisa. Sang Sutradaralah
yang berkuasa, kita hanya pemeran yang hanya bisa tunduk pada skenario,
meskipun naskahnya tak pernah diperlihatkan pada kita.
Kedua, ada hikmah yang dipetik dari aktivitas ini. Hikmahnya
rupanya tidak tanggung-tanggung, melatih kesabaran. Sabar adalah sesuatu yang
semakin ambigu di zaman ini. Betapa tidak, hampir semua orang mengaku sebagai
orang sabar. Ketika kita menjumpai mereka dalam keadaan marah, kalimat yang
terucap dari mulut mereka adalah “sabar saya ada batasnya”. Padahal kesabaran
sejati itu tak hingga, tiada berbatas. Rasulullah saw adalah figur yang sangat
tepat untuk menjelaskan bagaimana kiranya seseorang yang memiliki rasa sabar.
Dilempari bebatuan hingga terompahnya memerah di Thaif, yang beliau lakukan
adalah sabar dan memaafkan. Diserapahi oleh wanita buta-tua Yahudi yang tiap
hari beliau suapi makanan, yang beliau lakukan adalah diam dan memaafkan.
Pamannya dibunuh dengan keji di lembah Uhud, tapi ketika beliau dengan mudah
bisa membalasnya di Fathu Makkah, yang beliau lakukan adalah ikhlas dan
memaafkan. Ini sabar yang sebenarnya! Sabar yang seperti ini yang Allah
sandingkan dengan shalat dalam beberapa ayat suciNya. Dan “menunggu” melatih kita untuk menumbuhkan karakter ajaib itu.
Ketiga, agar waktu tidak mengalir percuma, manfaatkan dengan melakukan
hal-hal yang bermanfaat. Mentilawahi Alquran menjadi satu aktivitas yang sangat
cocok untuk mengisi waktu luang ini. Selain meraup pahala yang berlipat-lipat,
kita juga merasa nyaman karena setan pasti tidak akan berhasil memanas-manasi
kita untuk marah. Tapi tetap saja bukan berarti tidak boleh melakukan pekerjaan
lain. Membaca buku untuk memperluas wawasan, menulis ide yang tiba-tiba
terlintas di kepala, dan kegiatan-kegiatan bermanfaat lainnya adalah jauh lebih
baik untuk dikerjakan daripada sekedar meng-update status facebook
bernada kesal dan menyebalkan bagi sesiapa yang membacanya.
0 komentar:
Post a Comment