Banda Aceh akhir tahun ini lumayan
sibuk. Ada tiga event besar yang tanggalnya berurutan. Mulai dari Maulid Nabi,
Natalan, hingga peringatan 11 tahun tsunami.
Selaras dengan judul, saya tak membahas bid’ah atau tidaknya
memperingati hari kelahiran sang Nabi, tidak pula hendak menampilkan foto-foto before
dan after tsunami. Fokus kali ini adalah Natal, yang kaitannya paling
erat dengan toleransi.
Natal di Banda Aceh tentu tak
semegah peringatannya di katedral ibukota. Mungkin karena jumlah penganut yang
minoritas. Isu minoritas ini pula yang kemudian dihembuskan dengan sejumlah isu
lain (seperti haram memberi ucapan selamat Natal, haram merayakan tahun baru,
dsb) sehingga membara menjadi api yang menyulut kebencian. Ada yang bilang,
Aceh yang mayoritas Islam intoleran dengan penganut agama lain.
Ah, Kawan. Bukan bermaksud
menyinggung. Maaf, sungguh tidak tepat rasanya mengajari kami tentang kosakata
toleransi. Kalau kita mengulur sejarah, kalian saudara-saudaraku akan terkesima
ketika melihat definisi toleransi menurut ajaran agama kami.
Belilah buku, atau carilah di
Google, tentang sejarah perang Badar. Bagaimana Nabi kami yang mulia
membebaskan umat Kristiani yang menjadi tawanan perang, padahal beliau bisa saja
menuruti pendapat sahabatnya, Umar, agar semua tawanan dihukum mati. Tapi Islam
itu toleransi. Tak ada pemaksaan untuk masuk Islam kepada para tawanan, apalagi
hukuman mati. Mereka malah dibebaskan setelah ‘dihukum’ mengajari baca tulis
kepada penduduk Madinah. Ah, hukuman macam apa itu?
Atau carilah buku Karen Armstrong,
Perang Suci. Di situ dijelaskan bagaimana Salahudin Al Ayyubi yang menaklukkan
kota Yerusalem dan tak membunuh seorang Kristianipun. Padahal ketika merebut
Yerusalem sebelumnya, pasukan Salib membantai puluh ribuan Muslim tak berdosa.
Ah,toleransi dalam Islam aneh sekali!
Kini, setelah berbagai peristiwa
mencengangkan itu, ada yang menuduh kami intoleran karena tak mengucapkan
selamat Natal. Atau karena mengharamkan perayaan tahun baru. Maaf, Islam adalah
agama yang punya prinsip. Toleransi punya batas. Selama 364 hari kalian bebas
menjalankan aturan agama lalu ketoleransian kami hilang hanya dalam sehari?
Rasanya itu berlebihan, Kawan.
Karena itu, sekali lagi, maaf.
Rasanya sungguh tak tepat bila ada yang hendak mengajari kami toleransi. Bagi kami,
tenggang rasa adalah darah daging.
0 komentar:
Post a Comment