Baru-baru ini, setelah meninggalnya Olga
Syahputra, artis nasional, muncul tagar #RIPOlgaSyahputra di jagat twitter. Kemudian
muncul artikel di beberapa media Islami yang menjelaskan bahwa penggunaan kata
yang salah satu maksudnya adalah Rest in Peace itu berpotensi merusak
akidah. Penjelasan mengenai boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan RIP bisa
dilihat di sini:
Sekarang kita tinggalkan sejenak
pembahasan dari segi agama untuk melihatnya dari aspek penggunaan bahasa. Pertanyaan
pertama yang muncul adalah mengapa kita kian latah menggunakan bahasa asing,
bahkan untuk sekedar berbelasungkawa? Kebanggaan macam apa ini? Di mana
kecintaan terhadap bahasa sendiri?
Bahasa Inggris kan bahasa
internasional!
Lantas jika memang demikian, kenapa kita
mengejek saudara-saudara kita yang sering menggunakan istilah Arab? Bukankah bahasa
Arab juga salah satu bahasa internasional? Kenapa kita begitu mengkhawatirkan
indonesianisasi istilah-istilah berbahasa Arab sebagai salah satu upaya arabisasi
Indonesia? Kenapa pula wakil presiden kita yang terhormat pernah suatu kali
meminta agar istilah-istilah perbankan syariah di negara kita diganti?
(Sumber gambar: flickr.com) |
Alah, itu kan cuma ucapan…
Tapi bahasa menunjukkan bangsa, Bung. Masyarakat
yang latah membeo mengindikasikan bahwa bangsanya adalah bangsa pembeo. Dan lihatlah,
ketika kita semakin latah mengutip istilah-istilah berbahasa Inggris, (para pemimpin)
bangsa ini pun kian tak terkendali mengekor (para pemimpin) negara penuturnya.
Ini fakta, bukan?
Sadarlah, kita sedang dilanda ekolalia bahasa
(bahkan budaya). Ya, jiwa bahasa kita sedang sakit berat. Kita semakin tak
terkendali mengikuti bahasa (dan budaya) luar. Kita belum siap menahan
terjangan globalisasi. Di tingkat yang lebih parah, kita malah tak sadar sedang
memunahkan budaya sendiri.
Lihatlah, betapa kawula muda kian
berkiblat ke Korea. Mulai dari sajian musik ala boyband-girlband, film-film
alay ala Korea, gaya berbusana aktor-aktris Korea hingga sesekali
menggunakan bahasa Korea dalam percakapan sehari-hari. Lihat pula kejadian
belum lama ini di pintu masuk Stadion Gelora Bung Karno, betapa banyak
perempuan muda yang jatuh pingsan demi mengantri masuk ke dalam untuk
menyaksikan konser grup band asal Inggris, One Direction.
Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh
penyakit latah, membeo, membebek, mengekor atau apalah namanya itu. Jika mencita-citakan
Indonesia yang mandiri, mungkin langkah pertama yang kita lakukan adalah menggalakkan
penuturan bahasa Indonesia (tapi ini juga tidak berarti meninggalkan
mempelajari bahasa-bahasa lainnya). Untuk hal ini, mungkin kita bisa meniru
China yang tetap konsisten menomorsatukan bahasa Mandarin di negaranya.
Selamat jalan, Yoga Syahputra. Semoga amal-amalmu diterima Allah swt dan dosa-dosamu diampuni oleh-Nya.
0 komentar:
Post a Comment