Sunday 29 March 2015

Ketika Kita Dilanda Ekolalia

Baru-baru ini, setelah meninggalnya Olga Syahputra, artis nasional, muncul tagar #RIPOlgaSyahputra di jagat twitter. Kemudian muncul artikel di beberapa media Islami yang menjelaskan bahwa penggunaan kata yang salah satu maksudnya adalah Rest in Peace itu berpotensi merusak akidah. Penjelasan mengenai boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan RIP bisa dilihat di sini:

Sekarang kita tinggalkan sejenak pembahasan dari segi agama untuk melihatnya dari aspek penggunaan bahasa. Pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa kita kian latah menggunakan bahasa asing, bahkan untuk sekedar berbelasungkawa? Kebanggaan macam apa ini? Di mana kecintaan terhadap bahasa sendiri?

Bahasa Inggris kan bahasa internasional!
Lantas jika memang demikian, kenapa kita mengejek saudara-saudara kita yang sering menggunakan istilah Arab? Bukankah bahasa Arab juga salah satu bahasa internasional? Kenapa kita begitu mengkhawatirkan indonesianisasi istilah-istilah berbahasa Arab sebagai salah satu upaya arabisasi Indonesia? Kenapa pula wakil presiden kita yang terhormat pernah suatu kali meminta agar istilah-istilah perbankan syariah di negara kita diganti?

(Sumber gambar: flickr.com)

Alah, itu kan cuma ucapan…
Tapi bahasa menunjukkan bangsa, Bung. Masyarakat yang latah membeo mengindikasikan bahwa bangsanya adalah bangsa pembeo. Dan lihatlah, ketika kita semakin latah mengutip istilah-istilah berbahasa Inggris, (para pemimpin) bangsa ini pun kian tak terkendali mengekor (para pemimpin) negara penuturnya.

Ini fakta, bukan?

Sadarlah, kita sedang dilanda ekolalia bahasa (bahkan budaya). Ya, jiwa bahasa kita sedang sakit berat. Kita semakin tak terkendali mengikuti bahasa (dan budaya) luar. Kita belum siap menahan terjangan globalisasi. Di tingkat yang lebih parah, kita malah tak sadar sedang memunahkan budaya sendiri.

Lihatlah, betapa kawula muda kian berkiblat ke Korea. Mulai dari sajian musik ala boyband-girlband, film-film alay ala Korea, gaya berbusana aktor-aktris Korea hingga sesekali menggunakan bahasa Korea dalam percakapan sehari-hari. Lihat pula kejadian belum lama ini di pintu masuk Stadion Gelora Bung Karno, betapa banyak perempuan muda yang jatuh pingsan demi mengantri masuk ke dalam untuk menyaksikan konser grup band asal Inggris, One Direction.

Sudah saatnya kita membuang jauh-jauh penyakit latah, membeo, membebek, mengekor atau apalah namanya itu. Jika mencita-citakan Indonesia yang mandiri, mungkin langkah pertama yang kita lakukan adalah menggalakkan penuturan bahasa Indonesia (tapi ini juga tidak berarti meninggalkan mempelajari bahasa-bahasa lainnya). Untuk hal ini, mungkin kita bisa meniru China yang tetap konsisten menomorsatukan bahasa Mandarin di negaranya.


Selamat jalan, Yoga Syahputra. Semoga amal-amalmu diterima Allah swt dan dosa-dosamu diampuni oleh-Nya.

0 komentar:

Post a Comment