Hati-hati yang dekat itu berjalin mantap, bersimpul kuat lalu berkelindan erat.
Mari tengadah ke langit semesta. Mari belajar padanya. Siang hari,
matahari yang garang memuntahkan cahayanya. Terik, panas, gerah. Lalu di
penghujung siang, ia tenggelam di ufuk. Malam perlahan berlabuh. Dan di atas
sana, rembulan berbinar lembut. Memancarkan cahayanya yang mempesona.
Kawan, pernahkah kaupikirkan mengapa bulan yang lebih kecil dari
bumi itu terlihat sama besarnya dalam pandangan kita dengan matahari yang jauh
lebih raksasa? Mungkin kau sudah tahu jawabannya. Karena ia dekat, bukan? Tepat
sekali.
Matahari lebih besar 400 kali dari bulan namun berjarak 400 kali jarak
bumi ke bulan. Maka keduanya terlihat seukuran di mata kita.
Mari kita teliti lagi. Mengapa bulan yang dekat justru bersinar
lembut dan temaram? Sementara matahari yang jauh di pusat tata surya sana justru
bercahaya garang dan panas? Mungkin kau juga sudah tahu jawaban ilmiahnya,
Kawan.
(Sumber: http://aliahharizahani.blogspot.com/2013/07/rembulan.html) |
Tapi ada satu pelajaran yang kita ambil bersama-sama di sini. Pelajaran
persahabatan. Pelajaran kedekatan dan keterikatan hati. Sahabat yang baik itu
laksana bulan, dekat dan lembut. Sinarnya tak sekedar datang di saat kita
kegelapan, tapi juga ia menghadirkan segenap daya terbaiknya: terang, lembut
dan indah. Begitulah sahabat. Di saat kita membutuhkan, ia tak sekedar hadir
tapi berupaya memberikan kontribusi terbaiknya. Tak segan ia mencurahkan
perhatiannya seperti ia memperhatika dirinya sendiri. Ia menganggap masalah
yang kita hadapi adalah masalahnya juga. Ia mengamalkan apa yang disabdakan
Rasul, “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti
ia mencintai dirinya sendiri”. Begitulah sahabat iman, ia tahu persis kapan
saatnya harus mengulurkan kedua tangannya. Ia tahu dengan pasti saat-saat mana
kita berada dalam gelap. Lalu di saat itulah, hadirnya membenderang. Ia paham
semua yang terjadi pada kita karena hatinya yang senantiasa dekat dan berpaut.
Lalu lihatlah matahari! Ia ibarat teman yang hatinya tak terpaut. Kehadiran
cahayanya menggelisahkan, intensitas panasnya terlalu berlebihan, membuat orang
kepanasan. Itu sebab hatinya yang jauh. Ia tak paham bagaimana seharusnya
bersikap. Ketidakpahaman itu membuatnya mengeluarkan apa yang dimilikinya
seenak hati. Cahayanya yang sesungguhnya dinanti-nantikan berubah menjadi
jarum-jarum yang menusuk ubun-ubun. Kata-kata yang keluar dari mulutnya bukan
untuk menasehati, tetapi malah menyakiti. Dalam beberapa hal, ia mungkin
menolong kita, tapi bukan atas niat persahabatan, hanya semata untuk meyakinkan
orang lain bahwa kita berada di bawahnya lantaran kita membutuhkan bantuannya. Ia
merasa bak matahari, yang selalu berada di atas kepala. Ia merasa bak matahari,
yang tanpanya takkan ada kehidupan. Ia tak paham bagaimana seharusnya bersikap
sebab hatinya jauh dan terlepas dari ikatan.
Inilah pelajaran persahabatan. Semoga bermanfaat.
Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu hati-hati ini telah berpadu…
0 komentar:
Post a Comment