Terkadang, saya mendefinisikan hidup sebagai
upaya mewujudkan mimpi-mimpi. Maka ada sebagian waktu dalam hidup yang kita
habiskan untuk bermimpi, sebagian lagi untuk bekerja mewujudkannya.
Saya dulu pernah memimpikan akan
mengunjungi pasar terapung di Kalimantan sana. Iklan sebuah televisi swasta
kala itu betul-betul memantik keinginan saya merasakan sensasi pasar di atas
sungai itu.
Setelah belasan tahun, mimpi itu
terwujud. September lalu, saya dan teman-teman berkesempatan menyambangi pasar
Lokbaintan, sebuah pasar apung di sungai Martapura, Kalimantan Selatan. Ini
adalah salah satu agenda kami setelah beberapa hari sebelumnya berkutat dengan
agenda-agenda formal di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.
Unlam, Banjarmasin |
Pagi-pagi sekali, pintu kamar diketuk
panitia. Jam masih menunjukkan pukul 04.00 WITA. Saya, bahkan, belum tidur
sedetikpun sebab baru saja masuk kamar setelah sebelumnya jalan-jalan bersama
Faisal, Soma dari Universitas Negeri Jakarta dan Sugianto dari Universitas
Muhammadiyah Mataram. Ketiga teman itu baru pulas, karenanya sangat sulit untuk
dibangunkan. Tapi kesabaran yang dimiliki panitia memang luar biasa. Selama
belum ada jawaban, mereka tidak berhenti mengetuk. Saya mengalah dan, dengan
wajah lelah, membuka pintu.
“Segera bersiap-siap ya, kita harus
berangkat pagi-pagi ke sana,” seorang mahasiswi yang saya taksir berada di
tahun kedua berdiri manis di depan pintu.
Saya manggut. Setelah menutup pintu
kembali, saya bangunkan tiga teman sekamar. Ternyata memang tidak mudah
membangunkan orang yang baru saja berangkat ke alam mimpi!
Keinginan kami mengunjungi Lokbaintan
hampir saja gagal. Kamar mandi yang memang tidak pernah bersahabat selama acara
berlangsung kembali berulah di pagi itu. Seluruh keran yang ada kosong
melompong, tidak ada air! Panitia kelabakan. Kami tak hilang akal. Sebab masih
gelap, kamipun segera ke mesjid kampus. Ada satu kamar mandi di sana yang
sering digunakan pengurus mesjid. Karena hanya ada satu, tak sedikit dari kami
yang tidak sempat mandi sebab waktu Shubuh sudah tiba.
Usai shalat Shubuh, kami berangkat
dengan bus kampus. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit untuk tiba di
‘pangkalan’. Kami diturunkan di sebuah restoran khas Soto Banjar di tepi sungai
Martapura. Di belakang restoran, sudah bersiaga empat kapal kecil yang
sepertinya memang disediakan untuk kami. Saya memilih naik ke kapal kedua. Ini
adalah pengalaman pertama saya naik alat transportasi air. Setelah semuanya
siap, satu per satu kapal menyalakan mesin dan bergerak menuju Lokbaintan.
Sungai Martapura |
Sepanjang perjalanan, berbagai
pemandangan tersaji di tepi sungai Martapura. Banyak rumah yang didirikan
dengan tiang-tiangnya menancap ke dasar sungai. Kebanyakan rumah membelakangi
sungai. Di bagian belakang rumah itu, anak-anak yang mandi dengan air yang
berwarna kecoklatan itu, ibu-ibu yang mencuci piring dan pakaian, bapak-bapak
menimba air serta gadis-gadis muda yang duduk manis berbaris menyaksikan kapal
dan perahu yang hilir mudik. Di sekeliling kami, beberapa kapal lalu lalang.
Turis mancanegara saya lihat ikut menumpang di sana. Sekitar empat puluh menit
perjalanan, sampan-sampan berisikan buah-buahan dan sayuran mulai terlihat. Ini
artinya pasarnya sudah dekat. Sampan-sampan itu dikayuh oleh wanita-wanita
paruh baya. Satu perahu, satu orang. Mereka duduk agak ke belakang. Di bagian
depan hingga tengah perahu diisi dengan keranjang-keranjang berisi sayur-mayur
dan buah-buahan.
Lima belas menit kemudian, Lokbaintan terpampang
di depan mata. Pasar apung ini ramai di waktu pagi sebelum matahari memanas,
begitu kata panitia. Sedang berbincang-bincang dengan panitia, sebuah perahu
merapat ke kapal kami.
“Yang itu berapa, Bu?” Rupanya Faisal
yang memanggil ibu itu agar merapat.
Penjual di Lokbaintan |
“Ini satu keranjang seratus ribu,” kata
ibu itu sembari menunjuk ke keranjang berisikan jeruk berukuran besar. Logat
Banjarnya terdengar kentara.
Wuih, mahal sekali!
“Ini jeruknya manis-manis,” ibu itu
melakukan pembelaan seolah mendengar batin saya, “Boleh dirasa.” Ia
menyodorkanku sebuah jeruk lain.
Memang manis! Tapi jangan segitu, dong!
“Boleh ambil keranjang kecil saja. Ini
lima puluh ribu,” lagi-lagi beliau seperti tahu apa yang sedang terlintas di
benak saya.
Setelah tawar-menawar, Faisal akhirnya
membeli keranjang kecil. Kemudian, ibu itupun menjauh dari kami.
Saya menyempatkan diri naik ke atap
kapal untuk mengambil beberapa foto. Selebihnya, saya hanya melihat-lihat ke
sekitar. Pasar sedang ramai-ramainya. Suara tawar-menawar penjual dan pembeli
beradu dengan riuh rendah suara mesin perahu. Ternyata, tidak hanya buah dan
sayuran, penganan ringan juga dijual di sana. Ah, semuanya terasa begitu hidup
di sini.
Kehidupan di Lokbaintan |
Semoga suatu saat nanti, saya diberi
kesempatan untuk mengunjungi tempat ini sekali lagi.
0 komentar:
Post a Comment