Monday 19 January 2015

Lokbaintan, Pasar Unik ala Kalimantan

Terkadang, saya mendefinisikan hidup sebagai upaya mewujudkan mimpi-mimpi. Maka ada sebagian waktu dalam hidup yang kita habiskan untuk bermimpi, sebagian lagi untuk bekerja mewujudkannya.

Saya dulu pernah memimpikan akan mengunjungi pasar terapung di Kalimantan sana. Iklan sebuah televisi swasta kala itu betul-betul memantik keinginan saya merasakan sensasi pasar di atas sungai itu.

Setelah belasan tahun, mimpi itu terwujud. September lalu, saya dan teman-teman berkesempatan menyambangi pasar Lokbaintan, sebuah pasar apung di sungai Martapura, Kalimantan Selatan. Ini adalah salah satu agenda kami setelah beberapa hari sebelumnya berkutat dengan agenda-agenda formal di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin.

Unlam, Banjarmasin

Pagi-pagi sekali, pintu kamar diketuk panitia. Jam masih menunjukkan pukul 04.00 WITA. Saya, bahkan, belum tidur sedetikpun sebab baru saja masuk kamar setelah sebelumnya jalan-jalan bersama Faisal, Soma dari Universitas Negeri Jakarta dan Sugianto dari Universitas Muhammadiyah Mataram. Ketiga teman itu baru pulas, karenanya sangat sulit untuk dibangunkan. Tapi kesabaran yang dimiliki panitia memang luar biasa. Selama belum ada jawaban, mereka tidak berhenti mengetuk. Saya mengalah dan, dengan wajah lelah, membuka pintu.

“Segera bersiap-siap ya, kita harus berangkat pagi-pagi ke sana,” seorang mahasiswi yang saya taksir berada di tahun kedua berdiri manis di depan pintu.

Saya manggut. Setelah menutup pintu kembali, saya bangunkan tiga teman sekamar. Ternyata memang tidak mudah membangunkan orang yang baru saja berangkat ke alam mimpi!

Keinginan kami mengunjungi Lokbaintan hampir saja gagal. Kamar mandi yang memang tidak pernah bersahabat selama acara berlangsung kembali berulah di pagi itu. Seluruh keran yang ada kosong melompong, tidak ada air! Panitia kelabakan. Kami tak hilang akal. Sebab masih gelap, kamipun segera ke mesjid kampus. Ada satu kamar mandi di sana yang sering digunakan pengurus mesjid. Karena hanya ada satu, tak sedikit dari kami yang tidak sempat mandi sebab waktu Shubuh sudah tiba.

Usai shalat Shubuh, kami berangkat dengan bus kampus. Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit untuk tiba di ‘pangkalan’. Kami diturunkan di sebuah restoran khas Soto Banjar di tepi sungai Martapura. Di belakang restoran, sudah bersiaga empat kapal kecil yang sepertinya memang disediakan untuk kami. Saya memilih naik ke kapal kedua. Ini adalah pengalaman pertama saya naik alat transportasi air. Setelah semuanya siap, satu per satu kapal menyalakan mesin dan bergerak menuju Lokbaintan.

Sungai Martapura

Sepanjang perjalanan, berbagai pemandangan tersaji di tepi sungai Martapura. Banyak rumah yang didirikan dengan tiang-tiangnya menancap ke dasar sungai. Kebanyakan rumah membelakangi sungai. Di bagian belakang rumah itu, anak-anak yang mandi dengan air yang berwarna kecoklatan itu, ibu-ibu yang mencuci piring dan pakaian, bapak-bapak menimba air serta gadis-gadis muda yang duduk manis berbaris menyaksikan kapal dan perahu yang hilir mudik. Di sekeliling kami, beberapa kapal lalu lalang. Turis mancanegara saya lihat ikut menumpang di sana. Sekitar empat puluh menit perjalanan, sampan-sampan berisikan buah-buahan dan sayuran mulai terlihat. Ini artinya pasarnya sudah dekat. Sampan-sampan itu dikayuh oleh wanita-wanita paruh baya. Satu perahu, satu orang. Mereka duduk agak ke belakang. Di bagian depan hingga tengah perahu diisi dengan keranjang-keranjang berisi sayur-mayur dan buah-buahan.

Lima belas menit kemudian, Lokbaintan terpampang di depan mata. Pasar apung ini ramai di waktu pagi sebelum matahari memanas, begitu kata panitia. Sedang berbincang-bincang dengan panitia, sebuah perahu merapat ke kapal kami.

“Yang itu berapa, Bu?” Rupanya Faisal yang memanggil ibu itu agar merapat.

Penjual di Lokbaintan

“Ini satu keranjang seratus ribu,” kata ibu itu sembari menunjuk ke keranjang berisikan jeruk berukuran besar. Logat Banjarnya terdengar kentara.

Wuih, mahal sekali!

“Ini jeruknya manis-manis,” ibu itu melakukan pembelaan seolah mendengar batin saya, “Boleh dirasa.” Ia menyodorkanku sebuah jeruk lain.

Memang manis! Tapi jangan segitu, dong!

“Boleh ambil keranjang kecil saja. Ini lima puluh ribu,” lagi-lagi beliau seperti tahu apa yang sedang terlintas di benak saya.

Setelah tawar-menawar, Faisal akhirnya membeli keranjang kecil. Kemudian, ibu itupun menjauh dari kami.

Saya menyempatkan diri naik ke atap kapal untuk mengambil beberapa foto. Selebihnya, saya hanya melihat-lihat ke sekitar. Pasar sedang ramai-ramainya. Suara tawar-menawar penjual dan pembeli beradu dengan riuh rendah suara mesin perahu. Ternyata, tidak hanya buah dan sayuran, penganan ringan juga dijual di sana. Ah, semuanya terasa begitu hidup di sini.

Kehidupan di Lokbaintan

Semoga suatu saat nanti, saya diberi kesempatan untuk mengunjungi tempat ini sekali lagi.

0 komentar:

Post a Comment